
PENELITI Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset perlu dilakukan bersamaan dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurutnya, hal itu penting untuk dibahas bersama agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan aparat penegak hukum maupun aturan teknis terkait pengelolaan aset hasil tindak pidana.
“Saya kira penting, karena ada upaya untuk menyinkronkan. Misalnya soal kewenangan aparat penegak hukum di kedua rancangan undang-undang itu, serta bagaimana pengaturan aset hasil tindak pidana. Jadi menurut saya, membahas keduanya secara bersama adalah pilihan yang masuk akal,” ujar Herdiansyah saat dikonfirmasi pada Selasa (10/9).
Ia pun menyebut sejumlah hal substansial lainnya yang harus masuk dalam RUU Perampasan Aset, yakni:
- Threshold Aset yang Dirampas
Herdiansyah juga menekankan perlunya pengaturan threshold atau batasan minimal aset yang dapat dirampas. “Apakah Rp100 juta, atau dengan ancaman hukuman empat tahun penjara, itu harus jelas. Tanpa threshold, aturan bisa bias,” katanya.
- Partisipasi Publik
Ia menekankan, hal yang tidak kalah penting yang harus menjadi perhatian dalam pembahasan RUU Perampasan Aset adalah memastikan adanya partisipasi publik yang bermakna dalam pembahasan.
“Sepanjang melibatkan publik secara luas dengan konsep meaningful participation, saya kira tidak ada masalah. Justru legitimasi pembahasan itu datang dari sana,” tegasnya.
- Aturan soal Kekayaan yang Meningkat Drastis
Lebih jauh, Herdiansyah memaparkan sejumlah substansi krusial yang harus dimasukkan dalam RUU Perampasan Aset. Salah satunya, pengaturan mengenai illegitimate enrichment yaitu kondisi ketika penyelenggara negara memiliki kekayaan yang meningkat drastis tanpa alasan yang wajar.
“Kalau ada penyelenggara negara yang hartanya meningkat secara tidak wajar, mestinya bisa dirampas negara. Kasus Rafael Alun kemarin adalah contoh yang relevan. Konsep illegitimate enrichment ini penting dimasukkan dan harus diatur secara detail,” jelasnya.
- Dirampas Tanpa Tunggu Putusan
Selain itu, Herdiansyah menyoroti pentingnya mekanisme perampasan aset sebagai isu utama. Menurutnya, Indonesia perlu mengadopsi praktik non-conviction based seperti di negara-negara dengan sistem common law, di mana aset bisa dirampas tanpa menunggu putusan pengadilan.
“Prinsipnya untuk mengefektifkan perampasan aset demi kepentingan negara. Jadi mekanisme non-conviction based itu perlu dipastikan diatur secara detail dalam RUU,” ungkapnya.
- Lembaga yang Menjalankan
Selain itu, ia mengatakan pentingnya DPR RI dan Pemerintah untuk memperjelas kewenangan lembaga penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih. “Siapa yang berwenang merampas aset, bagaimana mekanisme pengelolaan aset, itu semua harus sinkron dan terharmonisasi,” tambahnya.
Kendati demikian, Herdiansyah menegaskan bahwa kunci utama pengesahan RUU Perampasan Aset bukanlah soal teknis waktu, melainkan adanya kemauan politik pemerintah dan DPR. “Ini soal niat, bukan sekadar waktu. RUU Pilkada saja bisa selesai dibahas dalam semalam. Kalau ada niat, apalagi mayoritas anggota DPR adalah pendukung pemerintah, RUU Perampasan Aset ini pasti bisa segera disahkan,” tandasnya. (M-1)