
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai penting untuk memperkuat kepastian hukum sekaligus mempercepat pemulihan kerugian negara. Pun mekanisme perampasan aset yang diatur mencakup penelusuran, pemblokiran, penyitaan, hingga pelelangan aset.
Sebelumnya, RUU Perampasan Aset kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk mendorong percepatan pengesahan regulasi tersebut.
“Dengan payung hukum yang jelas, aparat penegak hukum akan punya dasar yang lebih kuat untuk mengembalikan aset hasil kejahatan kepada negara. Prosedurnya lebih terstruktur, dari hulu hingga hilir,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yeni Widowaty, dalam keterangannya, Rabu (10/9).
Meski demikian, Ketua Program Studi Magister Hukum UMY itu mengakui adanya potensi celah hukum dalam RUU tersebut. Namun, ia menekankan bahwa hal itu tidak boleh mengurangi urgensi pengesahan regulasi ini sebagai dasar hukum yang kokoh.
Terkait pengelolaan aset, Yeni menyebut RUU ini mengatur pembentukan Lembaga Pengelola Aset (LPA) di bawah Kementerian Keuangan. LPA nantinya berfungsi menyimpan dan mengelola aset hasil penyitaan maupun perampasan.
“Sebelumnya, aset disimpan oleh kejaksaan, pengadilan, atau KPK. Kalau nanti ada lembaga baru, bisa jadi itu yang menimbulkan perdebatan panjang di kalangan pembuat kebijakan,” imbuhnya.
Yeni menilai DPR tidak memiliki alasan lagi untuk menunda pembahasan. Menurutnya, kajian RUU tersebut telah berlangsung sejak lama. “RUU ini sudah dibicarakan sejak 2018, bahkan kajiannya sudah sangat panjang. Jadi tidak ada kesan tergesa-gesa. Justru yang menjadi pertanyaan, apa lagi yang harus ditunggu?” ujarnya.
Menurut dia, salah satu poin penting dalam RUU Perampasan Aset adalah cakupannya yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi. Beleid ini memungkinkan negara merampas aset hasil tindak pidana lain, meski aset tersebut sudah melalui proses pencucian.
“Kalau aset itu terbukti berasal dari tindak pidana, meski sudah dicuci sedemikian rupa, tetap bisa dirampas. Jadi bukan hanya korupsi, melainkan tindak pidana apa pun,” jelasnya.
Kendati demikian, Yeni mengatakan bahwa kehadiran RUU ini tidak akan membuat negara sewenang-wenang, terutama dengan konsep non-conviction based forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa putusan pidana, dapat membuka celah penyalahgunaan wewenang. (Dev/P-2)