
DI tengah tantangan ketahanan pangan nasional, masyarakat adat disebut telah membuktikan diri sebagai penjaga kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Dengan pengetahuan pangan lokal yang diwariskan turun-temurun, mereka mengelola pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan cara yang tidak hanya mencukupi kebutuhan komunitas tetapi juga menjaga keseimbangan ekologi.
Di Papua, misalnya, masyarakat di dataran rendah membangun “dusun sagu” sebagai sumber pangan utama, sementara di dataran tinggi, umbi-umbian menjadi andalan. “Masyarakat yang tinggal di dataran rendah mengelola sumber daya alam dengan membangun dusun sagu yang dikelola berdasarkan hukum adat marga atau suku. Sementara itu, di dataran tinggi, pola pangan lebih berfokus pada budidaya umbi-umbian yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun,” ungkap Maria, Perempuan Mpur Kebar, Tambrauw, Papua Barat Daya.
Sistem serupa juga diterapkan di Kasepuhan, Jawa Barat, di mana ribuan leuit atau lumbung padi memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. "Leuit bukan hanya untuk keluarga kami, tetapi juga untuk ketahanan pangan komunitas," kata Sucia Lisdamara, Perempuan Adat Kasepuhan Bayah.
Ketangguhan sistem pangan berbasis adat ini semakin terlihat saat pandemi Covid-19. Ketika distribusi pangan terganggu, komunitas adat mampu bertahan secara mandiri. Masyarakat Adat Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, memproduksi sendiri minyak kelapa dan memanfaatkan kebun komunal untuk memastikan tidak ada yang kekurangan pangan. "Kami menggarap lahan secara gotong royong dan hasilnya dibagikan kepada yang membutuhkan," ujar Bebie, salah satu warga Boti. Menariknya, meskipun Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki kasus stunting tinggi, tidak ada satu pun kasus stunting ditemukan di Masyarakat Adat Boti.
Di wilayah pesisir, Masyarakat Adat juga menerapkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya perikanan, seperti Panglima Laot di Aceh, Mane’e di Kepulauan Talaud, serta Sasi Ikan Lompa di Pulau Haruku. “Jika ekosistem mangrove rusak, Masyarakat Adat Paser kehilangan sumber pangan mereka,” kata Bagas Pangestu, aktivis lingkungan di Kalimantan Timur.
Namun, meskipun berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan nasional, hak-hak Masyarakat Adat masih belum mendapatkan pengakuan penuh. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang diharapkan menjadi instrumen perlindungan bagi mereka masih tertahan.
"RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kedaulatan dan kemandirian komunitas adat," ujar Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.
Dengan masuknya RUU Masyarakat Adat ini ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, harapan Masyarakat Adat semakin besar untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas sistem pangan berbasis komunitas yang telah terbukti tangguh. "Kita perlu memastikan kebijakan pangan nasional lebih inklusif dan berpihak pada Masyarakat Adat, karena merekalah penjaga sejati keberlanjutan pangan dan lingkungan," pungkas Veni. (H-3)