Ilustrasi .(MI/Seno)
JARINGAN Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menegaskan pentingnya prinsip one man, one vote, one value (OPOVOV) dalam Revisi Undang-Undang Pemilu (Pemilu). Prinsip ini dinilai esensial untuk menjaga kedaulatan rakyat dan mencegah sistem pemilu berubah menjadi elitistik.
“Revisi UU Pemilu harus mengakomodasi prinsip one man, one vote, one value. Dengan begitu prinsip kedaulatan rakyat tetap terjaga. Jangan sampai pemilu bergeser ke ranah yang elitis,” ujar peneliti JPPR, Guslan Batalipu saat di konfirmasi, Kamis (25/9).
Guslan menyoroti pentingnya menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XX/2023 sebagai acuan dalam penyusunan regulasi kepemiluan.
Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara rezim pemilu dan pilkada, yang berarti keduanya harus mengedepankan prinsip-prinsip yang sama dalam pelaksanaannya. “Seharusnya Putusan MK 135 menjadi rujukan. Di sana disebutkan bahwa tak ada perbedaan antara rezim pemilu maupun pilkada,” tegas Guslan.
JPPR, lanjut dia, juga menilai bahwa sistem pemilu Indonesia perlu ditata ulang agar lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pemilih.
Atas dasar itu, pihaknya menolak wacana perubahan sistem pemilu legislatif menjadi proporsional tertutup, dan tetap mendorong agar semua jenis pemilu, baik legislatif, presiden, maupun kepala daerah dan tetap dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
“JPPR berharap pemilu ditata sesederhana mungkin agar pemilih dimudahkan. Maka dari itu, semua jenis pemilu, legislatif, presiden, dan kepala daerah, tetap dipilih oleh rakyat langsung.”
Terkait metode penyusunan RUU Pemilu dan RUU Partai Politik, Guslan menekankan bahwa yang terpenting bukan hanya pada cara atau bentuk pengaturan, tetapi juga pada substansi, asas, dan prinsip-prinsip dasar pemilu yang adil dan demokratis.
“Prinsipnya adalah substansi, asas, serta prinsip pemilu yang harus diperhatikan. Inisiatif masyarakat sipil sudah jelas disampaikan dalam semangat membenahi sistem pemilu,” ujar dia.
Lebih lanjut, Guslan menyatakan bahwa secara regulatif, sudah ada ketentuan hukum yang mengatur metode penyusunan UU. Namun, publik kini menantikan kejelasan kapan Revisi UU Pemilu akan benar-benar dilakukan.
“Terkait metode pembuatan regulasi, hal ini sudah ada ketentuan yang mengatur. Tapi di luar dari itu, lagi-lagi publik menunggu kejelasan kapan Revisi UU Pemilu tersebut akan dilaksanakan,” katanya.
Dia pun mengingatkan pentingnya percepatan pembahasan revisi agar tersedia cukup waktu untuk proses deliberasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan penyelenggara pemilu. “Revisi harus disegerakan, itu yang paling penting. Agar masih tersedia ruang deliberasi dengan multipihak,” pungkasnya. (Dev/P-2)


















































