
Perombakan Kabinet Merah Putih yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada 8 September, termasuk pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan, menuai perhatian luas dari kalangan pengamat. Dalam diskusi publik yang digelar Policy+ bersama The Habibie Center dan LPEM FEB UI, para pakar menekankan bahwa reshuffle bukan sekadar manuver politik, tetapi menjadi ujian bagi kredibilitas ekonomi dan tata kelola demokrasi Indonesia.
“Perombakan kabinet kali ini merupakan respons atas kegelisahan publik, yang mencerminkan dinamika demokrasi jalanan,” kata Didit Ratam, Dewan Pengurus The Habibie Center, saat membuka diskusi, Jumat (13/9). Ia menekankan pentingnya memperkuat mekanisme demokrasi agar tidak rapuh menghadapi tekanan politik.
Direktur Policy+ Raafi Seiff menambahkan, meskipun reshuffle bisa memulihkan kepercayaan publik, pemerintah tetap harus menegakkan standar etika dalam lembaga eksekutif dan legislatif. “Perubahan politik harus berjalan beriringan dengan tata kelola yang beretika, bukan sekadar merombak posisi,” tegasnya.
Ketua Institut Demokrasi dan HAM The Habibie Center, Julian Aldrin Pasha, menilai reshuffle merupakan hal wajar dalam politik. Namun, yang lebih penting adalah dampaknya pada kualitas demokrasi. “Reshuffle bisa memperkuat, tapi juga berpotensi melemahkan institusi demokrasi bila dasar pergantiannya hanya loyalitas politik, bukan integritas dan merit,” ujarnya. Menurutnya, hal itu justru berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah pada akuntabilitas.
Sementara itu, dari sisi ekonomi, Jahen Fachrul Rezki, Wakil Direktur sekaligus Kepala Bidang Makro, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI, menyoroti kebutuhan sinyal yang jelas terkait arah fiskal setelah pergantian menkeu. “Pasar dan publik menunggu kepastian kebijakan fiskal. Tanpa sinyal kredibel, ketidakpastian akan makin tinggi, apalagi dengan program belanja pemerintah yang ambisius,” jelasnya. Ia menekankan bahwa solusi tepat terletak pada alokasi dana untuk sektor produktif seperti infrastruktur, pembangunan SDM, dan transisi hijau. Menurut Jahen, langkah ini akan memperkuat konsumsi, menciptakan lapangan kerja, serta memberi kepastian bagi investor terkait prospek ekonomi jangka panjang.
Diskusi itu menegaskan bahwa reshuffle kabinet bukan hanya soal dinamika politik, melainkan tantangan besar bagi kredibilitas ekonomi dan kualitas demokrasi Indonesia. Para pengamat sepakat, yang lebih penting daripada sekadar pergantian menteri adalah bagaimana pemerintah menerjemahkan perubahan itu menjadi transparansi fiskal, konsistensi kebijakan, dan pengawalan demokrasi yang lebih kuat. Kredibilitas arah ekonomi serta integritas institusi akan menentukan apakah reshuffle ini memperkuat kepercayaan publik atau justru memperdalam skeptisisme.