Remaja tak Lagi Mabuk dan Merokok, tapi Terjerat Dunia Digital

6 hours ago 2
Remaja tak Lagi Mabuk dan Merokok, tapi Terjerat Dunia Digital Ilustrasi(freepik)

JIKA dulu masa remaja identik dengan kenakalan seperti mabuk atau merokok diam-diam, kini tanda-tanda pemberontakan remaja mulai bergeser. Penelitian terbaru menunjukkan penggunaan alkohol dan rokok di kalangan remaja menurun drastis. Namun risiko lain mulai muncul, ketergantungan digital.

Data dari platform riset konsumen Attest mengungkapkan, hanya 20% remaja usia 15-16 tahun yang pernah mencoba alkohol, turun jauh dari 71% siswa kelas 10 pada 2000. Penggunaan rokok juga turun menjadi 14%, dan narkoba hanya 6%, dibandingkan dengan 44% remaja di tahun 2000 yang pernah mencoba ganja.

Menurut Dr. Joel Stoddard, psikiater anak dan remaja di Children’s Hospital Colorado, tren ini menegaskan penyalahgunaan zat di kalangan remaja memang menurun secara global. Namun, penurunan ini bukan berarti generasi muda kini lebih sehat.

“Pemberontakan kini berpindah ke dunia maya, dan jauh lebih sulit dilihat oleh orang dewasa,” kata Saba Harouni Lurie, terapis keluarga sekaligus pendiri Take Root Therapy. “Remaja bisa saja terlihat patuh di kamar mereka, padahal sedang melanggar batas secara daring.”

Pemberontakan Baru: Dunia Online

Studi serupa di Australia menunjukkan Generasi Z (lahir 1997–2012) hampir 20 kali lebih mungkin menolak alkohol dibanding generasi Baby Boomers. Namun, di sisi lain, Generasi Alpha (lahir 2010–2024) lebih jarang bersosialisasi langsung dan lebih sering menghabiskan waktu di depan layar.

Attest mencatat 55% remaja menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Snapchat. Hanya 2% yang sama sekali tidak menggunakan media sosial.

“Remaja kini lebih sering berinteraksi dalam komunitas online yang bisa berbahaya. Ada yang berbagi konten seksual, ada pula yang terpapar hal-hal yang belum siap mereka pahami,” kata Lurie.

Perusahaan keamanan digital Bark Technologies, bahkan menemukan 63% anak usia praremaja dan 77% remaja pernah berinteraksi dengan konten seksual secara daring.

Dampak Mental dan Sosial

Menurut Dr. Mackenzie Sommerhalder dari Johns Hopkins School of Medicine, media sosial dan AI bisa menjadi bentuk baru perilaku berisiko. “Remaja memiliki kontrol impuls yang belum matang, sehingga sulit lepas dari notifikasi dan ‘doomscrolling’,” ujarnya.

Meski selalu terhubung secara online, banyak remaja justru merasa kesepian. Data CDC menunjukkan 40% siswa SMA mengalami perasaan sedih atau putus asa yang menetap.

Peran Orangtua

Para ahli menekankan pentingnya peran orangtua untuk tetap terlibat. Lurie menyarankan agar orangtua memantau akun media sosial anak, membatasi waktu layar, dan mendorong aktivitas tatap muka.

“Dorong anak untuk bertemu teman secara langsung, buat ruang aman di rumah untuk bersosialisasi,” katanya.

Generasi Alpha mungkin tidak lagi pulang dengan bau alkohol atau rokok, tetapi bentuk pemberontakan mereka tetap ada, hanya saja kini bersembunyi di balik layar. (Parents/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |