Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra serta Hari Sumpah Pemuda, Narabahasa menggelar diskusi panel yang membahas topik "Meme: Humor atau Bahasa Politik?"(Dok. Narabahasa)
Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra serta Hari Sumpah Pemuda, Narabahasa menggelar diskusi panel yang membahas topik "Meme: Humor atau Bahasa Politik?". Acara ini menjadi bagian dari Safari Bahasa bertema "Bulan Bahasa dan Fenomena Media Sosial," yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan kesadaran berbahasa di era digital.
Diskusi yang dihadiri oleh para ahli di bidangnya ini mengupas bagaimana bahasa kini hadir tidak hanya dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi juga melalui gambar dan potongan teks, yang dikenal sebagai meme. Fenomena meme, menurut para panelis, dianggap sebagai bentuk bahasa baru di dunia digital, dengan fungsi hiburan sekaligus sebagai sarana komunikasi sosial dan politik.
Ivan Lanin, Direktur Narabahasa, dalam sambutannya menyatakan, “Meme adalah bentuk komunikasi yang lucu dan juga contoh dari literasi multimodal. Kehadiran media sosial membuat batas antara bahasa lisan dan tulisan semakin kabur, dan meme muncul sebagai salah satu bentuk komunikasi baru dalam fenomena ini.”
Salah satu panelis, pakar linguistik, Miftahulkhairah Anwar, menyoroti kompleksitas bahasa sebagai sistem sosial yang memiliki fungsi lebih dari sekadar tatanan gramatika.
“Bahasa bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga memiliki konteks budaya dan kepentingan yang mendalam. Meme menjadi sarana partisipasi publik yang berpotensi positif jika digunakan secara cerdas,” ujarnya.
Miftahulkhairah menambahkan, meme dapat membuka ruang partisipasi masyarakat dalam politik, namun peringatan perlu diberikan bahwa meme yang viral belum tentu memiliki nilai yang baik. “Satu kata bisa membakar, tetapi juga bisa memadamkan,” ujarnya.
Praktisi media sosial, Ndoro Kakung, mengingatkan bahwa media sosial kini menjadi alat komunikasi utama. Ia menekankan pentingnya literasi digital dan politik di tengah maraknya penggunaan meme dalam diskusi publik.
“Jika politik hanya dilihat dari meme, kita akan kehilangan kedalaman dalam diskursus. Literasi yang kuat sangat penting agar demokrasi tidak hanya tampak hidup, tetapi benar-benar mendalam,” tegasnya.
Pengembang program Dagelan, Devan Yulio, yang dikenal sebagai akun hiburan berbasis meme, berbagi pandangannya tentang perubahan fungsi meme. Menurutnya, meskipun meme awalnya hanya digunakan sebagai hiburan, kini meme telah berkembang menjadi sarana komunikasi dan kampanye politik.
“Semua orang kini bisa membuat dan menyebarkan meme, yang menandakan kebebasan berekspresi, tetapi juga menimbulkan potensi masalah hukum,” ujar Devan.
Selain diskusi panel, acara ini juga diramaikan dengan pembacaan puisi oleh Lentera Kata dan penampilan akustik dari Brikustik. Narabahasa juga menyelenggarakan Pojok Meme, sebuah pameran yang menampilkan 15 meme pemenang sayembara daring yang diselenggarakan pada 10-20 Oktober 2025. Karya-karya tersebut telah melalui proses kurasi berdasarkan unsur kebaruan, kelucuan, pesan, dan relevansi sosial.
Dengan acara ini, Narabahasa berharap publik dapat memahami bahwa bahasa tidak hanya terbatas pada teks dan tuturan, tetapi juga melalui berbagai bentuk ekspresi yang terus berkembang sesuai zaman. (RO/Z-10)


















































