Ilustrasi(MI/Susanto)
PAKAR Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyoroti rendahnya tingkat kepatuhan DPR dan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, kondisi ini mencerminkan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
“Banyak studi dari tahun ke tahun mengatakan bahwa hanya sekitar 54% putusan MK yang ditaati oleh pembentuk undang-undang,” ujar Herdiansyah dalam keterangannya pada Selasa (30/9).
Herdiansyah menilai problem utama rendahnya tingkat kepatuhan tersebut terletak pada ketiadaan instrumen eksekusi dalam putusan MK.
“Dalam putusan MK itu tidak ada semacam judicial order yang secara eksplisit memerintahkan DPR dan pemerintah untuk segera menindaklanjuti. Tidak ada juga instrumen injeksi yang bisa memaksa mereka,” katanya.
Ia memberi contoh, hanya sebagian kecil putusan MK yang memuat batas waktu penyesuaian regulasi.
“Misalnya putusan Nomor 128 soal jabatan wakil presiden diberi batas paling lama dua tahun, dan putusan Nomor 153 soal pemisahan pemilu lokal dan nasional diberi rentang jeda waktu. Tetapi tidak semua putusan MK memiliki deadline,” jelas Herdiansyah.
Menurutnya, ketika DPR dan pemerintah tidak menjalankan putusan MK, hal itu masuk kategori pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience.
“Prakteknya sekarang DPR dan pemerintah sedang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Dan pembangkangan terhadap konstitusi sama saja dengan perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Herdiansyah mendorong agar ke depan putusan MK dilengkapi instrumen pengikat, termasuk tenggat waktu yang jelas, sehingga pembentuk undang-undang tidak lagi bisa mengabaikan amar putusan.
“Selama ini tidak ada judicial order semacam itu, sehingga ketika putusan MK dibacakan tidak ada rentan waktu. Kapan harusnya deadline yang diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk segera membentuk undang-undang atau merubah dorma berdasarkan putusan MK,” jelasnya. (Dev/I-1)


















































