Ilustrasi(Antara)
Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai tata kelola birokrasi di bawah Presiden Prabowo Subianto berpotensi semakin kacau akibat praktik rangkap jabatan wakil menteri dan pejabat lainnya. Menurutnya, hal itu tidak hanya bertentangan dengan prinsip konstitusi, tetapi juga membuka ruang konflik kepentingan yang serius.
Feri menjelaskan, secara prinsip UUD 1945 menegaskan, presiden dibantu oleh para menteri. Namun dalam praktiknya, muncul lembaga dan jabatan baru di luar struktur kementerian yang justru memiliki kuasa besar selevel menteri. Kondisi ini disebutnya menyalahi logika tata kelola negara.
"Pada dasarnya semua tata kelola birokrasi itu berpuncak pada presiden karena dia adalah kepala birokrasi dia sendiri. Jadi kalau simbol kekacauan, berantakan yang administrasi tidak termanajemen dengan baik, tata kelola negara ya pasti salah berarti," ujar Feri dalam konferensi pers dan diskusi daring bertajuk Komisaris Rasa Politisi: Perjamuan Kuasa di BUMN, dikutip pada Rabu (1/10).
Ia menyoroti keberadaan wakil menteri yang kini hampir di setiap kementerian. Padahal, dalam UU Kementerian Negara, posisi itu hanya bersifat dapat dibantu dan tidak diatur setara dengan menteri. Lebih jauh, Feri menilai praktik rangkap jabatan wakil menteri di perusahaan, termasuk BUMN, menunjukkan adanya patronase politik.
Menurutnya, jabatan publik justru dijadikan alat imbal jasa politik pascapemilu. "Yang penting beri jabatan, bukan kemudian manajemen yang baik, orang yang tepat, dan berujung pada tata kelola pemerintahan yang profesional," tuturnya.
Feri menilai praktik rangkap jabatan ini bukan hanya inkonstitusional, tapi juga rentan memicu korupsi. Figur bermasalah, sistem buruk, dan lemahnya penegakan hukum, kata dia, akan memperbesar potensi penyalahgunaan kewenangan.
Ia mengingatkan, Mahkamah Konstitusi sudah berulang kali memberi peringatan melalui putusan yang melarang wakil menteri merangkap jabatan. Sayangnya, pemerintah dinilai masih mengabaikan peringatan tersebut.
Lebih jauh, Feri menilai langkah Presiden Prabowo membiarkan kondisi ini justru bisa dikategorikan tindakan sewenang-wenang karena bertentangan dengan undang-undang dan keputusan peradilan.
"Kalau kabinet itu masih merangkap jabatan, dia bertentangan dengan keputusan peradilan, bertentangan dengan undang-undang yang ada, yaitu Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN," tuturnya.
Adapun dari hasil riset yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan, saat ini terdapat 562 kursi komisaris dari 59 perusahaan BUMN dan 60 perusahaan sub-holding. Dari jumlah kursi komisaris itu, 174 di antaranya diisi oleh birokrat; 165 oleh politisi; 133 profesional; 35 militer; 29 aparat penegak hukum; 15 akademisi; 10 dari organisasi kemasyarakatan; dan 1 mantan pejabat negara.
Pada 59 perusahaan holding BUMN, birokrat dan politisi mendominasi kursi komisaris dengan persentase masing-masing 37,8% dan 31,3%. Sementara porsi profesional hanya 14,9%. Sedangkan di 60 sub-holding BUMN, komisaris dari kalangan politisi tercatat 27,5% dan birokrat 24,4%, serta profesional 32,1%.
Dari 165 politisi yang menduduki kursi komisaris di 59 perusahaan holding BUMN dan 60 perusahaan sub-holding, sebanyak 104 orang merupakan kader partai dan 61 sisanya merupakan relawan politik.
Partai Gerindra memiliki porsi paling besar dari kader yang menduduki kursi komisaris di BUMN, yakni 48,6%. Itu diikuti oleh kader dari Demokrat 9,2%; Golkar 8,3%; PDIP, PAN, dan PSI masing-masing 5,5%; PKB 4,6%; NasDem 2,8%; dan Perindo, PPP, serta Partai Buruh masing-masing 1,8%. (E-3)


















































