Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (ketiga kiri).(Antara)
PEMOHON uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Titi Anggraini, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30% di seluruh alat kelengkapan dewan (AKD) DPR.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu menyebut putusan tersebut sebagai tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan gender dan demokrasi representatif di Indonesia.
“Kami, para pemohon yang terdiri dari Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra, dan saya sendiri amat bersyukur dan menyambut dengan penuh apresiasi keputusan MK yang mengabulkan seluruh permohonan kami,” ujar Titi saat dikonfirmasi, Kamis (30/10).
Menurut Titi, substansi dari permohonan ini bukan sekadar tentang posisi atau jabatan di parlemen, melainkan menyangkut keadilan konstitusional dan penghormatan terhadap prinsip negara hukum yang menjamin kesetaraan dan nondiskriminasi.
“Pasal-pasal yang kami uji selama ini telah menimbulkan praktik domestikasi politik perempuan di parlemen, karena membatasi ruang mereka hanya pada bidang-bidang tertentu dan menghilangkan kesempatan untuk berperan dalam posisi strategis,” tegasnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dan memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan.
Titi menilai, dengan dikabulkannya seluruh permohonan dalam Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024, MK telah menegaskan bahwa pengarusutamaan gender tidak lagi pilihan moral, tetapi kewajiban konstitusional.
“DPR tidak lagi dapat mengabaikan prinsip keterwakilan perempuan dalam penyusunan dan kepemimpinan alat kelengkapan dewan,” ujarnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa putusan ini juga menjadi koreksi terhadap pembangkangan konstitusional (constitutional disobedience) yang selama ini terjadi akibat penghapusan frasa ‘mengutamakan keterwakilan perempuan’ dari UU MD3 pasca-putusan MK tahun 2014.
Mendorong Revisi UU MD3 dan Tata Tertib DPR
Lebih lanjut, Titi menekankan bahwa putusan ini merupakan penerapan konkret prinsip negara hukum dan penghormatan terhadap finalitas putusan MK.
“Sebagai akademisi dan aktivis yang selama dua dekade terlibat dalam advokasi reformasi pemilu dan penguatan demokrasi, saya melihat putusan ini akan membawa multiplier effect luas bagi seluruh agenda politik inklusif, baik di tingkat nasional maupun daerah,” jelasnya.
Menurut Titi, keputusan tersebut menghidupkan kembali semangat afirmasi perempuan dalam politik yang sempat tergerus selama satu dekade terakhir.
“Putusan ini membuka peluang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam semua bidang kebijakan publik, tidak hanya pada isu-isu yang dianggap ‘perempuan semata’.”
Ia juga mendorong DPR segera menindaklanjuti putusan MK dengan melakukan revisi terhadap UU MD3 dan tata tertib internal lembaga agar sesuai dengan amar putusan.
“Pelaksanaan putusan ini menjadi ujian nyata komitmen parlemen terhadap prinsip konstitusi dan demokrasi yang berkeadilan gender,” tuturnya.
Lebih jauh, Titi menuturkan bahwa hak konstitusional perempuan bukanlah anugerah, melainkan mandat yang harus dihormati oleh seluruh pembentuk undang-undang.
“Keadilan gender adalah bagian tak terpisahkan dari keadilan konstitusional dan demokrasi substantif,” pungkasnya. (Dev/I-1)


















































