
DIREKTUR Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira turut buka suara terkait dengan adanya perbedaan angka dana pemerintah daerah (Pemda) yang mengendap di bank daerah. Ia menyatakan, dana Pemda yang mengendap di bank bisa diperuntukan untuk berbagai hal, bukan berarti Pemda sengaja untuk menyimpan dana tersebut.
"Dana mengendap di bank itu ada beberapa peruntukan, mulai dari giro, dana cadangan sampai dana operasional," ucap Bhima saat dihubungi, Rabu (22/10).
Oleh karenanya, dirinya menyarankan agar Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa buka-bukaan terkait dengan dana beberapa pemerintah daerah (pemda) yang diklaim mengendap di bank.
"Di sini letak bedanya Purbaya tidak merinci hanya akumulatif jadi terjadi perbedaan dengan Dedy (Gubernur Jawa Barat) atau Bobby (Gubernur Sumatera Utara). Harusnya dibuka saja detail terutama pemda yang dana akumulatif di bank masih besar berapa banyak yang digunakan untuk operasional sampai akhir tahun, mana yang dipakai untuk dana proyek multi years biar publik tidak bingung," tutur Bhima.
Praktik bertahun-tahun
Dihubungi secara terpisah, pengamat ekonomi Celios, Nailul Huda mengungkapkan bahwa dalam pencatatan keuangan daerah, bunga dari penempatan dana APBD di bank masuk ke dalam pendapatan jasa imbal hasil dan ke dalam pendapatan asli daerah (PAD).
"Kemudian, oleh bank biasanya dibelikan instrumen investasi lagi seperti surat berharga negara (SBN). Pemda mendapatkan penghasilan dari imbal hasil, bank mendapatkan imbal hasil bunga SBN. Praktik tersebut sudah terjadi bertahun-tahun," beber Huda.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa dana pemda banyak ditempatkan di bank pembangunan daerah (BPD) yang membuat kebanyakan BPD memiliki ketergantungan terhadap dana pemda.
Sebagai informasi, terdapat sebanyak 15 pemda dengan nilai simpanan tertinggi berdasarkan data Kementerian Keuangan. Di posisi pertama, Provinsi DKI Jakarta Rp14,6 triliun, kemudian Jawa Timur Rp6,8 triliun, Kota Banjar Baru Rp5,1 triliun, Provinsi Kalimantan Utara Rp4,7 triliun, Provinsi Jawa Barat Rp4,1 triliun, Kabupaten Bojonegoro Rp3,6 triliun, Kabupaten Kutai Barat Rp3,2 triliun, Provinsi Sumatera Utara Rp3,1 triliun, Kabupaten Kepulauan Talaud Rp2,6 triliun, Kabupaten Mimika Rp2,4 triliun, Kabupaten Badung Rp,2,2 triliun, Kabupaten Tanah Bumbu Rp2,11 triliun, Provinsi Bangka Belitung Rp2,10 triliun, Provinsi Jawa Tengah Rp,1,9 triliun, dan Kabupaten Balangan Rp1,8 triliun. (Fal/M-3)