
PSIKOLOG menjelaskan beban ganda, yaitu berprestasi di sekolah dan tampil sempurna secara daring, mendorong remaja mengalami stres, kecemasan, dan rendahnya harga diri.
Media sosial telah menjadi sumber utama kecemasan bagi remaja. Meskipun dapat menghubungkan mereka dengan orang lain, media sosial juga menciptakan rasa tertekan dan perbandingan yang terus-menerus, yang sangat memengaruhi kesehatan mental mereka.
Psikolog Christie Saju dari platform layanan konsultasi kesehatan mental LISSUN mengatakan, remaja berada di tahap krusial dalam mengembangkan identitas mereka, dan platform media sosial sering kali menampilkan versi realitas yang terdistorsi.
"Mereka melihat kehidupan teman-teman mereka, penuh dengan prestasi akademik, pesta yang sempurna, dan penampilan yang ideal. Hal ini dapat menyebabkan perasaan membandingkan dan putus asa, di mana remaja mengukur harga diri mereka sendiri dengan citra-citra yang seringkali tidak realistis ini," kata Christie dikutip dari Hindustan Times, Jumat (12/9).
Harga diri remaja, kata Christie, bisa bergantung pada validasi eksternal, seperti jumlah suka (like) atau bagikan (share) yang mereka dapatkan. Dunia digital, sambung dia, memicu rasa takut ketinggalan dan tekanan untuk selalu ada. Batasan antara sekolah, rumah, dan kehidupan sosial menjadi kabur, dan remaja merasa tidak pernah mendapatkan waktu istirahat.
"Selain itu, ancaman perundungan siber dan penghinaan di depan umum menambah lapisan stres ringan yang terus-menerus dan sulit dihilangkan," ujar Christie.
Berbicara tentang lingkungan akademik yang penuh tekanan, Christie menambahkan, tekanan yang kuat untuk sukses secara akademis dipadukan dengan kebutuhan untuk tampil sukses dan sempurna secara daring.
"Mahasiswa merasa dipaksa untuk menampilkan citra cemerlang tanpa usaha, bahkan ketika mereka sedang berjuang. Beban ganda ini, mengelola akademik berisiko tinggi sambil mempertahankan citra daring yang sempurna, dapat menyebabkan kecemasan dan kelelahan yang parah," ungkap Christie.
Ia mengatakan bahwa remaja perlu memahami bahwa ini bukan kegagalan pribadi remaja, melainkan respons alami terhadap lingkungan yang menantang. Solusinya menurut dia bukanlah menyalahkan teknologi, melainkan membantu remaja mengembangkan literasi dan ketahanan digital.
Adapun remaja diminta mengevaluasi secara kritis apa yang mereka lihat secara daring, menetapkan batasan yang sehat untuk waktu layar, dan terlibat dalam aktivitas dunia nyata yang membangun harga diri dari dalam.
"Tujuannya adalah membantu mereka menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat yang tidak bergantung pada kehadiran daring mereka," pungkasnya. (H-4)