Prof Andy Sommeng: Campuran Bioetanol Perkuat Kedaulatan Energi Nasional

1 month ago 30
 Campuran Bioetanol Perkuat Kedaulatan Energi Nasional Ilustrasi(Antara)

PENGGUNAAN etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) kini menjadi sorotan karena tidak hanya soal teknis menaikkan angka oktan, melainkan juga terkait ketahanan energi, kedaulatan pangan, hingga arah kebijakan iklim nasional. Hal itu ditegaskan oleh Prof. Andy N. Sommeng, ahli energi sekaligus Guru Besar Tetap Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

“Membicarakan BBM yang dicampur etanol sejatinya berbicara tentang pergeseran paradigma energi dari sekadar memenuhi kebutuhan mobilitas menuju upaya menghubungkan sektor pertanian, energi, dan iklim,” ujar Andy di Jakarta, Jumat (4/10/2025).

“Etanol bukanlah sekadar zat aditif yang meningkatkan angka oktan bensin, melainkan simbol bagaimana sebuah negara memandang ketahanan energi dan kedaulatan pangan,” lanjutnya.

Andy menjelaskan, Brasil menjadi contoh klasik bagaimana bioetanol dijadikan instrumen strategis. Sejak krisis minyak 1970-an, negara itu memanfaatkan tebu untuk memproduksi etanol, melahirkan mobil fleksibel berbahan bakar biofuel, dan menjadikannya kebanggaan nasional.

“Apa yang semula lahir dari krisis minyak kini menjadi kebanggaan nasional dan instrumen diplomasi energi,” katanya.

Di Amerika Serikat, jagung menjadi tulang punggung etanol bukan semata demi lingkungan, tetapi juga menopang lobi agrikultur.

“E10 menjadi standar nasional bukan hanya karena alasan teknis, melainkan karena adanya sinergi politik energi, politik pangan, dan politik negara bagian penghasil jagung,” terang Andy.

Menurut Andy, negara-negara Eropa Barat lebih berhati-hati dengan campuran E5 atau E10 sambil mengembangkan kendaraan listrik. Sementara itu, India, Tiongkok, Thailand, dan Filipina justru melihat etanol sebagai instrumen strategis untuk mengurangi impor minyak sekaligus menyerap surplus produksi pertanian.

Posisi Indonesia dalam Bioetanol

Bagaimana dengan Indonesia? Andy mengingatkan bahwa program bioetanol sebenarnya pernah diuji coba melalui peluncuran Pertamax E5–E10. Namun, program tersebut terhenti karena keterbatasan pasokan.

“Energi terbarukan berbasis nabati di negeri ini justru lebih cepat maju di jalur biodiesel ketimbang bioetanol. Ini menunjukkan bahwa pilihan energi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga ketersediaan bahan baku, infrastruktur, dan konsistensi kebijakan,” ujarnya.

Andy menekankan bioetanol bukan hanya energi alternatif, melainkan juga energi politis.

“Di balik setiap angka blending (E3, E5, E10, E20, E85, E100) terselip narasi tentang bagaimana sebuah bangsa menghadapi persoalan iklim, bagaimana ia memperlakukan petaninya, dan bagaimana ia membangun ketahanan energi,” katanya.

Ia kemudian mengutip filsuf Jerman, Heidegger.

“Teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara manusia menyingkap dunia. Dalam hal ini, etanol adalah cara bangsa-bangsa menyingkap dunianya masing-masing: Brasil menyingkap dunia tebu, Amerika dunia jagung, India dunia molase, dan Indonesia dunia sawit. Pertanyaannya: dunia apa yang ingin kita singkap melalui kebijakan energi kita ke depan?” pungkas Andy.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |