Expo Kemandirian Pesantren di Lapangan Merdeka Wajo dalam rangkaian dari MQKI 2025(Dok.HO)
PESANTREN bukan sekadar tempat belajar ilmu agama. Lebih dari itu, pesantren adalah kawah candradimuka para santri untuk menapaki hidup dan menjalani kehidupan. Di sisi lain, pesantren juga harus mandiri dan berdaya. Kemandirian menjadi syarat agar pesantren bisa lebih berkiprah di masyarakat.
Itulah yang tergambar dalam Expo Kemandirian Pesantren di Lapangan Merdeka Wajo. Gelaran itu menjadi rangkaian dari Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) ke-1 Tahun 2025 di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
Lebih dari 50 stand produk pesantren dari berbagai provinsi tampil memamerkan hasil karya santri dan unit usaha pesantren. Produk-produk tersebut meliputi makanan dan minuman olahan, kerajinan tangan, produk pertanian, hingga inovasi teknologi berbasis pesantren.
Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama, Helmi Halimatul Udhmah menegaskan expo itu bukan sekadar pameran biasa, melainkan bukti nyata kontribusi pesantren dalam membangun kemandirian ekonomi umat.
“Pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan dakwah, tetapi juga motor penggerak ekonomi masyarakat. Dengan kemandirian ekonomi, pesantren semakin berdaya dan berkontribusi bagi bangsa,” ujarnya di lokasi (3/10).
Helmi menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Agama terus memberikan perhatian besar bagi penguatan pesantren. Salah satunya melalui Program Kemandirian Pesantren yang memberikan bantuan inkubasi bisnis, pelatihan, dan pendampingan. Hingga saat ini, Kemenag telah menyalurkan bantuan kepada 4.186 pesantren, di mana lebih dari seribu di antaranya telah memiliki badan usaha mandiri. Selain itu, telah berdiri pula lebih dari 2.300 koperasi pesantren yang tersebar di berbagai daerah.
Menurutnya, penguatan ini bukan hanya bertujuan agar pesantren dapat memenuhi kebutuhan internal, tetapi juga untuk memperkuat fungsi pemberdayaan masyarakat.
“Jika setiap pesantren memiliki unit usaha yang berkembang, maka akan tumbuh economy hub berbasis pesantren. Ekonomi yang tumbuh dari pesantren ini tidak hanya menopang kehidupan para santri, tetapi juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar,” paparnya.
Ketua Dharma Wanita Persatuan Kementerian Agama, Sinarliati Kamaruddin, menegaskan bahwa acara ini memiliki makna mendalam. Di satu sisi, MQK menjadi tradisi intelektual Islam yang diwariskan ulama lintas generasi. Di sisi lain, expo menjadi bukti nyata bahwa pesantren adalah pusat pemberdayaan masyarakat dan penggerak ekonomi umat.
“Kedua kegiatan ini saling melengkapi. MQK menegaskan peran pesantren sebagai benteng ilmu dan akhlak, sementara expo ini menegaskan pesantren sebagai motor kemandirian dan kesejahteraan umat. Inilah harmoni yang indah: pesantren sebagai pusat keilmuan sekaligus pusat pemberdayaan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua DWP UP Ditjen Pendidikan Islam Kiptiyah Suyitno melaporkan bahwa expo kali ini tidak hanya berasal dari pesantren penerima bantuan, tetapi juga melibatkan UMKM dan organisasi di Sulawesi Selatan. Expo menghadirkan beragam produk, mulai dari kitab keislaman hingga kerajinan, kuliner halal, dan inovasi teknologi santri.
“Kita percaya bahwa kemandirian pesantren bukan hanya sebatas pada kemampuan mencetak generasi yang alim dalam ilmu agama, tetapi juga generasi yang tangguh, kreatif, dan berdaya saing di tengah dinamika global,” tegasnya. (M-3)


















































