Potret Buram Transpub Jabodetabek, 30% Gaji Pekerja Habis untuk Ongkos

12 hours ago 4
Potret Buram Transpub Jabodetabek, 30% Gaji Pekerja Habis untuk Ongkos Macet di Jakarta.(Antara/ Sulthony Hasanuddin)

KEMENTERIAN Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan bahwa sekitar 30% gaji/pendapatan warga Jakarta dan sekitarnya dihabiskan untuk ongkos transportasi publik (transpub). Hal itu diakui oleh warga.

Desy Fatmawati, 29, yang tinggal di kawasan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bahkan mengaku menghabiskan lebih dari 30% gajinya untuk ongkos setiap hari bekerja di Jakarta. Perjalanan Desy dimulai sejak pukul 6.00 pagi, dengan menaiki ojek daring untuk sampai ke stasiun kereta.

Usai naik KRL, ia melanjutkan naik TransJakarta, dan kemudian masih harus naik MRT lagi untuk bisa sampai ke tempat kerja di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. “Kalau saya dari rumah ke Stasiun Bojong itu naik ojek online biayanya sekitar Rp12.000-Rp15.000, tergantung jamnya. Kalau hujan saya hitung rata-rata Rp15.000,” tutur Desy kepada Media Indonesia, Jumat (24/10).

Untuk ongkos KRL menuju Sudirman, ia mengeluarkan Rp5.000, dan Rp3.500  untuk TransJakarta. “Biasanya saya naik MRT sekitar Rp3.000 karena kalau naik TransJakarta suka macet dan busnya lama datang,” katanya.

Untuk pulang, ia mengeluarkan lagi kocek serupa, kecuali jika hari hujan. “Kalau hujan, tarifnya bisa naik karena tidak ada angkutan umum di sana.” lanjutnya.

Dengan pola perjalanan rutin seperti itu, Desy mengaku harus mengeluarkan sekitar Rp1 juta per bulan hanya untuk ongkos transportasi. Namun angka itu bisa melonjak dua kali lipat bila ia terlambat berangkat kerja.

“Kalau kesiangan dan ketinggalan kereta, saya biasanya naik ojol langsung ke Stasiun Tebet, lalu lanjut kereta ke Sudirman dan pakai ojol lagi ke kantor. Dalam satu hari bisa habis sekitar Rp70.000,” ujarnya. “Kalau sering lembur dan kecapean lalu besok paginya ketinggalan kereta, biaya transportasi saya bisa tembus Rp1,5 sampai Rp2 juta,” tambahnya.

Desy mengungkapkan, gajinya yang setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) terasa berat untuk menanggung biaya transportasi yang besar. “Gaji saya sekitar UMR. Jadi bayangkan, sepertiga lebih gaji habis untuk transportasi saja,” ucapnya.

Integrasi Transportasi Belum Optimal

Desy menilai, tingginya biaya transportasi di wilayah penyangga Jakarta mencerminkan belum optimalnya integrasi antar moda transportasi publik. “Seharusnya pemerintah daerah Jakarta dan daerah penyanggah saling bekerjasama menyediakan angkutan umum dari perumahan ke stasiun, semacam JakLingko atau bus kecil yang terintegrasi ke KRL,” katanya.

Selain itu, Desy juga menyoroti persoalan kenyamanan transportasi umum yang belum terwujud. Menurutnya, kuantitas penumpang yang begitu tambun tak berbanding lurus dengan jumlah armada transportasi umum.

“Naik KRL atau TransJakarta itu sering rebutan, desak-desakan sampai tergencet. Di beberapa stasiun transit seperti Sudirman atau Manggarai, penumpang menumpuk, armada kurang, dan situasinya bisa chaos,” ungkap Desy. “Kadang saya lihat orang sampai jatuh karena dorong-dorongan. Itu sudah sering banget,” tambahnya.

Menurut Desy, di tengah jargon efisiensi dan mobilitas perkotaan, kehadiran transportasi publik yang mahal dan padat masih menjadi beban harian bagi kelas pekerja muda Indonesia. “Pemerintah seharusnya memperbanyak armada dan mempercepat waktu tunggu supaya perjalanan lebih aman dan nyaman,” tandasnya. (M-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |