
PERDANA Menteri Nepal, KP Sharma Oli, resmi mengundurkan diri setelah gelombang protes besar-besaran yang menewaskan sedikitnya 22 orang dalam dua hari terakhir. Aksi ini disebut sebagai kerusuhan terburuk yang dialami Nepal dalam beberapa dekade terakhir.
Kerusuhan dipicu keputusan pemerintah yang sempat memblokir 26 platform media sosial populer, termasuk Instagram dan Facebook, dengan alasan menekan hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring. Meski larangan tersebut dicabut pada Senin malam, demonstrasi sudah terlanjur berkembang menjadi gerakan massa dengan tuntutan lebih luas: perlawanan terhadap korupsi yang dianggap mengakar di kalangan elite politik.
Gedung Parlemen Dibakar
Pada Senin (8/9), bentrokan sengit pecah di sekitar gedung parlemen Kathmandu. Setidaknya 19 orang tewas dalam insiden tersebut. Sehari kemudian, massa kembali turun ke jalan, membakar gedung parlemen, menyerang kantor pemerintahan, hingga rumah para tokoh politik. Tiga korban jiwa tambahan dilaporkan pada hari yang sama. Bahkan, 900 narapidana dilaporkan melarikan diri dari dua penjara di wilayah barat Nepal di tengah kekacauan.
Di dalam gedung parlemen, suasana sempat berbalik riuh. Ratusan pengunjuk rasa menari, menyanyikan yel-yel, dan mengibarkan bendera Nepal sambil menyalakan api di pintu masuk. Jendela gedung pecah, dinding dipenuhi coretan anti-pemerintah, sementara di luar, markas Partai Kongres Nepal dan rumah pemimpinnya, Sher Bahadur Deuba, ikut dibakar massa. Rumah KP Oli yang sudah empat kali menjabat sebagai perdana menteri, juga menjadi sasaran.
Pengunduran Diri
Dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ramchandra Paudel, Oli menulis bahwa keputusannya diambil untuk membuka jalan bagi solusi konstitusional atas krisis yang tengah melanda negeri. “Melihat situasi yang semakin memburuk, saya mengundurkan diri demi memfasilitasi penyelesaian masalah secara politik sesuai konstitusi,” tulisnya.
Hingga kini, belum jelas siapa yang akan menggantikan Oli, sementara beberapa menteri dilaporkan bersembunyi di bawah perlindungan aparat keamanan. Tentara Nepal mengeluarkan peringatan keras, menegaskan siap mengambil alih kendali jika kerusuhan tidak mereda.
Meski demikian, gerakan ini terlihat spontan tanpa kepemimpinan yang jelas. Seorang warga Kathmandu, Muna Shreshta, 20, mengatakan aksi ini merupakan momentum penting bagi generasi muda Nepal.
“Sudah saatnya negara, perdana menteri, dan semua yang berkuasa berubah. Kami ingin melihat perubahan nyata agar pajak yang kami bayar digunakan untuk membangun masa depan negeri ini,” ujarnya.
Nepo Kid
Gelombang protes ini diyakini tak hanya dipicu larangan media sosial, melainkan juga diperkuat oleh kampanye “nepo kid” yang viral di dunia maya dalam beberapa pekan terakhir. Kampanye tersebut menyoroti gaya hidup mewah anak-anak politisi yang dianggap sebagai simbol ketidakadilan dan korupsi.
Nepal kini menghadapi masa transisi penuh ketidakpastian. Dengan perdana menteri yang mundur dan demonstrasi yang terus meluas, nasib politik negara Himalaya itu masih menjadi tanda tanya besar. (BBC/Z-2)