Pertemuan Puncak Trump dan Xi, AS atau Tiongkok yang Lebih Unggul?

7 hours ago 4
Pertemuan Puncak Trump dan Xi, AS atau Tiongkok yang Lebih Unggul? Donald Trump dan Xi Jinping.(Al Jazeera)

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping mencapai beberapa kesepakatan penting dalam pertemuan di Korea Selatan. Kesepakatan tersebut menandai gencatan senjata baru di tengah ketegangan perdagangan dan geopolitik antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

Gencatan senjata perdagangan antara Trump dan Xi Jinping memunculkan perdebatan mengenai pihak yang sebenarnya unggul dalam pertemuan tersebut. Namun, banyak pengamat menilai Xi tampil dengan posisi tawar yang jauh lebih kuat dibandingkan pertemuan terakhir keduanya pada 2019.

Dalam pertemuan Kamis (30/10) di sela-sela KTT APEC, Xi meninggalkan meja perundingan dengan hasil signifikan berupa pelonggaran sebagian kontrol ekspor teknologi oleh AS. Sementara pertemuan yang sarat dengan gestur ramah dan jabat tangan itu, menurut analis, mencerminkan keseimbangan baru antara dua kekuatan ekonomi dunia.

"Dalam menghadapi angin, ombak, dan tantangan, kita harus tetap berada di jalur yang benar, menavigasi melalui lanskap yang kompleks, dan memastikan pelayaran yang stabil ke depan dari kapal raksasa hubungan Tiongkok-AS," kata Xi menggambarkan hubungan kedua negara seperti dua kapten yang memimpin satu kapal besar.

Menurut Dexter Roberts, peneliti senior nonresiden di Global Tiongkok Hub Atlantic Council, posisi Tiongkok kini jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya. "Saya pikir Tiongkok sudah pasti meningkatkan statusnya, sementara AS justru menurunkan statusnya," katanya kepada Al Jazeera, Jumat (31/10) 

Sejak Trump melancarkan perang dagang pertama pada 2018, Beijing memperkuat ekonominya agar lebih tahan terhadap tekanan eksternal dan meningkatkan kemampuan untuk melawan kebijakan Washington. 

Salah satu langkah kunci adalah keputusan Beijing mewajibkan persetujuan ekspor global atas produk yang mengandung mineral langka. Ini komponen vital dalam teknologi tinggi, mulai dari ponsel hingga jet tempur.

Gabriel Wildau, Wakil Presiden Senior di firma konsultasi Teneo, mengatakan bahwa kemampuan Beijing menggunakan kontrol ekspor tanah jarang sebagai alat negosiasi telah mengubah dinamika kekuasaan global.

"Daya ungkit Beijing atas rantai pasokan global akan menjadi penahan bagi negara lain yang mempertimbangkan tindakan koersif terhadap Tiongkok," ujarnya.

Selain itu, Tiongkok berhasil mengurangi ketergantungannya terhadap impor pertanian AS, khususnya kedelai. Setelah menghentikan pembelian kedelai Amerika pada Mei, Beijing mengalihkan pasokan ke Brasil dan Argentina. 

Langkah ini menekan petani di negara bagian seperti Iowa dan Indiana yang menjadi basis politik penting Partai Republik menjelang pemilu paruh waktu 2026.

Roberts menilai bahwa Tiongkok telah memahami dengan baik pola pikir Trump yang sangat transaksional. "Saya pikir mereka menyadari bahwa Trump memiliki hal-hal tertentu yang benar-benar diinginkannya," ujarnya. 

"Dan mereka memanfaatkan hal itu dengan sangat baik untuk keuntungan mereka," tambahnya.

Meskipun dalam kesepakatan terbaru Tiongkok setuju menunda pengendalian ekspor atas lima dari 12 mineral langka, tujuh lainnya tetap berada di bawah pembatasan yang diumumkan sejak April. 

Gencatan senjata tersebut pada dasarnya mengembalikan hubungan kedua negara ke posisi sebelum Trump menerapkan tarif besar-besaran pada awal tahun ini.

Satu konsesi besar yang menguntungkan Beijing ialah pengurangan tarif impor fentanil dari 20% menjadi 10%.

Menurut Ja Ian Chong, dosen ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, meskipun Tiongkok berhasil memperkuat posisinya, persaingan strategis antara kedua negara akan terus berlanjut.

"AS memiliki keunggulan dalam kendali teknologi, lalu Tiongkok menemukan cara mengakalinya melalui senjata mineral langka," ujarnya. 

"Demikian pula, AS akan menyesuaikan diri dan menemukan strategi baru. Begitulah dinamika yang akan terus terjadi," lanjutnya.

Sementara itu, Wang Wen, dekan Institut Chongyang di Universitas Renmin Tiongkok, menegaskan bahwa perang dagang Trump telah gagal menekan Beijing. "Kekuatan Tiongkok telah memaksa AS untuk belajar menghormati," katanya. 

"Kedua negara kini benar-benar memasuki era kesetaraan. Era di mana AS bisa secara sepihak menekan Tiongkok sudah berakhir," pungkasnya. (I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |