Persyaratan Capres-Cawapres Melekat hingga Selesai Menjabat

2 hours ago 1
Persyaratan Capres-Cawapres Melekat hingga Selesai Menjabat Surat suara pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024(MI/Susanto)

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 yang sempat menutup akses publik terhadap 16 dokumen persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden adalah langkah keliru dan berbahaya.

Hal itu ia utarakan saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu (21/9). Menurutnya, dokumen persyaratan pencalonan melekat pada pejabat yang terpilih sepanjang masa jabatannya. 

"Persyaratan soal pendidikan minimal SMA, sampai kapanpun mereka selesai menjabat, syarat itu tetap harus dipenuhi begitu, termasuk juga misalnya persyaratan tidak pernah dipidana," ujar Titi.

Ia menyoroti keanehan KPU yang justru menutup dokumen yang sebelumnya sudah dipublikasikan dan bahkan seharusnya memang terbuka untuk publik. Salah satu contoh, dokumen tanda terima laporan harta kekayaan calon presiden dan wakil presiden, yang bahkan di KPK dapat diakses masyarakat.

"Di tengah adanya kontroversi soal ijazah, KPU seolah-olah ikut dalam orkestrasi itu dengan menutup 16 dokumen yang sangat tidak masuk akal," tutur Titi. 

Kondisi tersebut, lanjut Titi, memunculkan dugaan bahwa KPU justru melindungi kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, kebijakan ini hanya diberlakukan untuk pilpres, tidak untuk pemilu legislatif maupun pilkada. 

Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran asas proporsionalitas dan keadilan dalam perlakuan hukum. Meski akhirnya KPU membatalkan keputusan tersebut setelah menuai kritik, Titi menilai masalah utama tetap tidak boleh diabaikan.

"Sikap responsif satu sisi patut diapresiasi, tapi sampai keputusan itu bisa keluar, sesuatu yang tidak logis, kurang rasional, dan kurang didukung oleh argumentasi yang kokoh, itu merupakan refleksi problematika pengambilan keputusan di internal KPU," jelasnya.

Ia menekankan, keluarnya kebijakan bermasalah tersebut menunjukkan adanya persoalan paradigma kelembagaan di tubuh KPU, baik pada level komisioner maupun sekretariat. Masalah itu bukan hanya soal kepemimpinan, tetapi juga soal keberpihakan terhadap prinsip dasar pemilu yang diatur undang-undang, seperti keterbukaan, kejujuran, dan keadilan.

Titi menyatakan, publik tidak boleh hanya berhenti pada apresiasi pembatalan, tetapi perlu terus mendorong evaluasi mendasar terhadap cara KPU membuat keputusan. "Membatalkan memang kewajiban, tapi mengapa keputusan itu sampai keluar, itu masalah lain yang tidak boleh dilupakan," pungkasnya. (Mir/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |