Seorang pekerja berdiri di samping sapi n’dama di Peternakan Nyanga, Tchibanga, Gabon, Sabtu (13/9).(AFP)
MATTHIEU Msellati tampak menyantap lahap steak iga di suatu restoran, Tchibanga, barat daya Gabon. Ternyata iga sapi itu berasal dari peternakan yang berjarak kurang dari 50 kilometer.
Asal tahu saja, meski kaya minyak, negara di Afrika Tengah itu selama ini sangat bergantung pada impor bahan pangan. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang langka sekaligus pertanda perubahan kebiasaan konsumsi.
"Kami tahu dari mana asalnya dan itu melegakan," kata Msellati, manajer objek wisata berusia 48 tahun, sambil menikmati makan siangnya seperti dikutip AFP, Selasa (30/9). Di media sosial, dukungan terhadap produk-produk lokal melonjak melalui penggunaan tagar consogab yang menjadi ajakan untuk lebih banyak mengonsumsi hasil dalam negeri.
Presiden Brice Oligui Nguema, yang merebut kekuasaan melalui kudeta militer pada 2023 dan kemudian terpilih secara resmi pada April lalu, mulai mendorong kemandirian pangan dengan menawarkan pinjaman berbunga rendah bagi usaha-usaha pertanian kecil. Namun, menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), konsumsi daging masyarakat Gabon masih tergolong rendah sekitar kurang dari 41 kilogram per tahun dan lebih dari 90% di antaranya berasal dari impor.
Masyarakat hutan
Wakil Direktur Peternakan Kementerian Pertanian, Morgan Bignoumba, mengakui bahwa budaya beternak bukan bagian dari tradisi setempat. "Kami sejatinya masyarakat hutan. Nenek moyang kami hidup dengan berburu dan meramu, bukan dari ternak," sebutnya.
Secara geografis, Gabon memang lebih didominasi hutan atau mencakup 88% dari total wilayah 267.000 kilometer persegi. Sementara itu, sabana yang dibutuhkan untuk padang penggembalaan hanya tujuh persen.
Di wilayah tersebut berdiri peternakan Nyanga, satu-satunya usaha peternakan sapi berskala besar di negara itu. Dikelola Grande Mayumba Development Company, peternakan ini membentang lebih dari 100.000 hektare hingga ke perbatasan Republik Kongo.
Dengan populasi sekitar 5.000 sapi, ternak dibiarkan berkeliaran bebas di padang rumput alami dan mendapat suplai air dari Sungai Nyanga. "Dagingnya diproduksi secara lokal dalam kondisi organik," kata Gui-Lov Dibanganga, manajer peternakan berusia 38 tahun yang membawahi 108 staf.
Perubahan besar
Hingga saat ini, Gabon masih mengimpor daging sapi dari Chad, Kamerun, Brasil, dan Prancis. Namun Dibanganga optimistis usahanya akan mendorong perubahan besar.
"Peternakan ini merupakan bagian dari visi untuk mengurangi impor daging sapi secara signifikan guna membantu negara mencapai tujuan swasembada pangan ini," jelasnya. Produksi tahunan diperkirakan mencapai 30 ton.
Angka itu masih tergolong kecil karena jenis sapi yang digunakan yaitu N'Dama. Sapi ras Afrika Barat berukuran kecil ini terkenal tahan terhadap penyakit trypanosomiasis yang ditularkan lalat tsetse.
"Hasilnya tidak terlalu tinggi," aku Dibanganga. Dengan pertumbuhan populasi ternak 10% per tahun, distribusinya kini tak hanya terbatas di restoran sekitar peternakan, tetapi juga sudah menjangkau ibu kota Libreville.
Pelanggan setia
Setiap dua pekan saat fajar, sekitar 300 kilogram karkas dalam truk berpendingin dikirim dari Nyanga menuju toko daging milik Youssouf Ori di kawasan Charbonnages, Libreville. Di depan tokonya terpampang tulisan besar Daging Segar.
Perjalanan pengiriman memakan waktu kurang dari 72 jam, termasuk perjalanan 700 kilometer melalui jalur kereta dan jalan darat. "Satu atau dua minggu tanpa kedatangan, orang-orang mulai bertanya, 'Di mana daging yang lebih empuk?'" kata Ori.
Restoran-restoran di ibu kota disebut semakin bangga menyajikan produk lokal. "Kami memberi tahu mereka bahwa itu daging dari Gabon dan berasal dari Tchibanga. Mereka senang ketika mendengar itu produk mereka," tambahnya.
Di salah satu supermarket besar di Libreville, spanduk bertuliskan 100% Daging Gabon terpampang di konter daging. Setelah delapan bulan dipasarkan, produk tersebut memiliki pelanggan setia.
"Dengan daging lokal, cita rasanya tetap terjaga. Pelanggan menyukainya," kata Blandine Loogabeng, pemilik restoran.
Enam perusahaan
Norvin Kouma, konsumen berusia 36 tahun, juga mengaku bangga membeli produk lokal. "Ini daging yang diproduksi di sini dan kami diminta oleh pihak berwenang untuk mempromosikan para pengusaha Gabon," ujarnya.
Dengan harga sekitar 18.000 franc CFA (US$32 atau sekitar Rp533 ribu) per kilogram, daging sapi lokal bersaing dengan produk impor dari Kamerun. Dibanganga menilai upaya ini baru awal.
Masih banyak yang harus dilakukan sebelum peternakan-peternakan di Gabon dapat memproduksi daging yang cukup untuk seluruh negeri. "Lima atau enam perusahaan yang didirikan seperti ini dengan visi sama akan bagus," pungkasnya. (AFP/I-2)


















































