Perfeksionisme Orangtua Bisa Picu Gangguan Makan pada Anak, Ini Penjelasannya

6 days ago 19
Perfeksionisme Orangtua Bisa Picu Gangguan Makan pada Anak, Ini Penjelasannya Ilustrasi(freepik)

DI tengah derasnya arus perbandingan di media sosial dan banjirnya saran tentang pengasuhan anak, banyak orangtua merasa terbebani tuntutan untuk selalu “melakukan yang terbaik”. Dorongan itu sering kali muncul dalam bentuk mengikuti gaya pengasuhan. Hal ini dianggap ideal oleh para ahli atau menyiapkan bekal sekolah, yang sehat sekaligus menarik untuk dipamerkan di Instagram.

Keinginan untuk menjadi orangtua yang baik tentu sesuatu yang wajar. Namun, ketika usaha tersebut berubah menjadi tuntutan perfeksionisme, justru bisa menimbulkan tekanan dan konsekuensi yang kurang baik bagi orangtua maupun anak.

Riset pun membuktikan hal tersebut. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam BMC Psychiatry, menunjukkan adanya kaitan antara perfeksionisme orang tua, serta meningkatnya risiko gangguan makan pada anak berusia 6-11 tahun.

Perfeksionisme itu bisa tampak melalui standar pribadi yang terlalu tinggi, ekspektasi berlebihan, maupun sikap kritis terhadap diri sendiri dan anak. Tekanan semacam ini sering menciptakan stres yang akhirnya menular, membuat anak terdorong untuk selalu tampil sempurna, hingga berpotensi mengembangkan pola makan yang tidak sehat.

Ketika perfeksionisme orangtua sampai ke meja makan

Saat orangtua berusaha terlalu keras untuk mencapai kesempurnaan, anak-anak kerap ikut merasakan tekanan itu. Perlahan, beban harapan yang tidak terlihat ini, bisa memengaruhi cara mereka menilai diri sendiri dan membentuk citra diri mereka.

"Orangtua yang berjuang melawan perfeksionisme, sering kali menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan segala sesuatunya dengan sempurna, dalam membesarkan anak-anak mereka, dan mereka mungkin juga menunjukkan hal ini di aspek lain dalam hidup mereka," kata Erin Parks, PhD, psikolog klinis dan kepala petugas klinis Equip, sebuah program perawatan gangguan makan virtual.

Thea Runyan, DrPH, MPH, pendiri sekaligus CEO Pediatric Health Coaching Academy dan konsultan ilmuwan kesehatan untuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), menekankan meski orangtua sering bermaksud baik, aturan yang terlalu ketat justru bisa menimbulkan dampak negatif. Contohnya adalah larangan mengonsumsi gula atau kewajiban untuk selalu menghabiskan makanan di piring.

Menurutnya, penerapan aturan seperti itu dapat memicu hubungan yang tidak sehat dengan makanan. Anak-anak bisa merasa bersalah terhadap pilihan makanannya, sehingga lebih memilih untuk diam-diam mengonsumsi makanan yang sebenarnya dilarang.

Menanamkan pola makan sehat pada anak

1. Jadilah teladan yang baik

Orangtua sebaiknya memberikan contoh baik. Dr. Patton-Smith menekankan bahwa, anak-anak lebih memperhatikan perilaku orangtua daripada kata-kata mereka. Mengonsumsi berbagai jenis makanan tanpa rasa bersalah, adalah contoh yang penting bagi anak. Saat orangtua sesekali menikmati camilan manis atau berlemak dengan santai, anak belajar membangun hubungan yang sehat dengan makanan.

2. Hindari kritik dan pelarangan makanan

Dr. Patton-Smith menjelaskan melarang makanan tertentu, justru bisa membuat anak semakin menginginkannya. Sebagai gantinya, orangtua bisa menyediakan makanan secara teratur dan sehat sambil tetap memberi anak kebebasan memilih. 

3. Libatkan anak dalam prosesnya

Dr. Runyan merekomendasikan agar orangtua bersikap lebih kolaboratif daripada sekadar mengontrol saat membentuk pola makan sehat. Dengan melibatkan anak dalam aktivitas seperti merancang menu, berbelanja, atau menyiapkan camilan, anak akan lebih termotivasi untuk menikmati makanan yang sudah disediakan. (Parents/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |