Ilustrasi(freepik)
SEORANG perempuan berusia 31 tahun diidentifikasi mengalami kondisi medis yang sangat langka, serangan tawa tak terkendali sejak masa bayi. Kondisi ini, yang awalnya tampak seperti tawa biasa, ternyata merupakan jenis epilepsi langka yang disebut “gelastic seizures.”
Dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal medis baru-baru ini, para dokter menggambarkan pasien tersebut sering mengalami letusan tawa tanpa emosi (“mirthless laughter”) yang tidak bisa ia kendalikan. Setiap kali serangan terjadi, wanita itu merasa sesak di leher dan dada, tidak bisa berbicara, menelan, atau bernapas dengan lancar. Episode ini berlangsung beberapa detik dan biasanya muncul sekali sehari, terutama di pagi hari setelah bangun tidur.
Saat kecil, serangan tersebut jauh lebih sering terjadi, hingga tujuh kali sehari dan bisa berlangsung beberapa menit, bahkan ketika ia sedang tidur. Namun, orangtuanya tidak menyadari tawanya itu tidak normal dan mengira anak mereka hanya sedang bercanda.
Pemeriksaan Awal
Pemeriksaan awal dengan MRI dan EEG otak tidak menunjukkan kelainan. Namun setelah dokter meninjau video rekaman serangan tawa pasien, mereka menemukan kemiripan kuat dengan gelastic seizures. Jenis kejang yang ditandai dengan tawa atau senyum spontan akibat aktivitas listrik abnormal pada area tertentu di otak.
Pemeriksaan MRI lanjutan akhirnya menemukan kelainan kecil berukuran 5 milimeter di bagian hipotalamus, area penting di otak yang mengatur hormon dan fungsi vital tubuh. Dokter mendiagnosisnya sebagai hamartoma hipotalamus, yaitu lesi jinak yang terbentuk sejak masa janin.
Gelastic Seizures
Lesi ini diketahui menjadi pemicu utama gelastic seizures, di mana penderita sadar penuh selama serangan tetapi tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Meski penyebab pastinya belum dipahami sepenuhnya, kelainan ini sangat jarang terjadi dan umumnya disertai gangguan perilaku, penurunan fungsi kognitif, atau pubertas dini pada anak-anak.
Menariknya, kasus perempuan ini berbeda dari kebanyakan pasien. Meski sempat mencoba obat antikejang seperti levetiracetam dan lamotrigine, kondisinya tidak membaik. Namun frekuensi dan intensitas serangan justru berkurang secara alami seiring usia.
Karena pasien tidak menunjukkan gangguan perilaku atau fungsi otak lainnya, dokter memutuskan tidak memberikan pengobatan lebih lanjut. Mereka menyebut kasus ini unik karena menunjukkan hasil jinak dari bentuk epilepsi yang biasanya kronis.
“Sejauh pengetahuan kami, perbaikan alami seperti ini belum pernah dilaporkan sebelumnya,” tulis para peneliti. (Live Science/Z-2)


















































