Pentingnya Menjaga Sabana sebagai Ekosistem Esensial di Pulau Sumba

2 hours ago 2
(Indriyani/MI)

SABANA merupakan bentang alam dengan karakteristik padang rumput diselingi pepohonan. Di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), sabana memiliki peran penting dalam kesatuan ekologis yang lekat dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan sabana sama seperti ekosistem penting lainnya yakni gambut, mangrove dan karst. Sebab, sabana dapat menyimpan cadangan air, menyimpan karbon, dan melindungi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, sebagai ekosistem esensial, pelestarian padang sabana mendesak dilakukan.

“(Hal) yang harus dipikirkan kita, apa yang harus ditanggung kalau sabana hancur,” ujar Zenzi saat pembukaan Pekan Lingkungan Hidup Nasional ke-XIV di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Pulau Sumba, NTT, Kamis (18/9).

Ia mencontohkan kehancuran ekosistem gambut yang terjadi di sejumlah daerah. Gambut dikeringkan untuk tanaman sawit. Padahal ekosistem alami gambut seharusnya basah. Hal ini memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat musim kemarau.

Di tempat yang sama, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menuturkan bahwa di padang sabana hidup peradaban masyarakat. Akar dari alang-alang di padang sabana dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai obat, atap rumah- rumah tradisional memanfaatkan alang-alang. Sedangkan, bebatuan dari padang sabana bisa dijadikan bahan baku kapurBatu di padang sabana menjadi kapur. Menurutnya cadangan air di sabana juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dan minum ternak. Hanya saja, di Pulau Sumba dibutuhkan teknologi untuk hal itu.

“Sabana punya peradaban (ekosistem) air yang kuat. Kami tidak krisis air, tapi krisis terhadap akses air, masalahnya teknologi kita belum cukup untuk menjangkau air. Hampir semua kawasan di Sumba, bernama wai (air dalam Bahasa Sumba). Tidak mungkin nenek moyang kami asal kasih nama,” ujar Umbu Wulang.

Umbu Wulang menyayangkan ekosistem sabana tidak diteliti secara komprehensif. Padahal, fungsinya luar biasa bagi masyarakat lokal. Menurutnya sejauh ini belum ada ahli yang khusus menggeluti sabana. Apabila ekosistem sabana hilang, kata dia,  kearifan lokal dan tradisi masyarakat lokal terancam ikut hilang misalnya istialah dalam bahasa daerah dan tradisi tertentu yang digunakan masyarakat adat untuk mendeskripsikan sesuatu terkait sabana.

Di sisi lain, Pulau Sumba, tidak luput dari ancaman kerusakan lingkungan seiring masuknya investasi dan proyek atas nama Pembangunan. Menurut data Walhi, proyek food estate dan izin monokultur kepada PT Muria Sumba Manis telah mengubah sabana menjadi perkebunan tebu, meminggirkan masyarakat adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Merespons hal itu, Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekuwali mengaku bahwa pemerintah daerah (pemda) dihadapkan pada pilihan yang pelik. Ia menuturkan karakteristik topografi Sumba dengan luasan lahan padang sabana dan berbatu, menjadi tantangan untuk menerapkan pertanian konvensional. Oleh karena itu, kata dia, pemda memberikan izin bagi perusahaan untuk mengelola lahan tersebut.

“Pilihan ini tidak mudah bagi pemda. Di satu sisi ada perubahan pemanfaatan dan tutupan lahan yang tadinya padang terbuka menjadi lokasi usaha. Kami dihadapkan kondisi masyarakat yang tidak punya pilihan, padang panas yang berbatu untuk peternakan pun di musim kemarau, sangat tidak memungkinkan,” terang Umbu Lili yang hadir dalam Pekan Nasional Lingkungan Hidup.

Menurutnya dengan masuknya investasi, perusahaan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda setempat. Mereka, kata Umbu Lili, tidak perlu pergi mencari pekerjaan ke daerah lain seperti Bali atau bahkan menjadi buruh migran ke luar negeri.

“ Jadi pilihan ini yang kami juga lihat sebagai peluang dalam menjawab persoalan kemiskinan dan lapangan kerja yang terbatas,” papar dia.

Umbu Lili berujar bahwa pemda sangat selektif dalam memilih investasi yang masuk. Sebab, perlu ada dampak positif yang didapatkan masyarakat setempat.

“Tentu ini tanggung jawab pemda meminimalkan segala aktivitas yang cenderung akan merusak lingkungan,” tukasnya.

Zenzi menyampaikan alasan Sumba dipilih sebagai tuan rumah Pekan Nasional Lingkungan Hidup. Tujuannya agar tradisi orang Sumba menjaga alam dapat menjadi refleksi bagi daerah lain. (Ind)

SABANA merupakan bentang alam dengan karakteristik padang rumput diselingi pepohonan. Di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), sabana memiliki peran penting dalam kesatuan ekologis yang lekat dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan sabana sama seperti ekosistem penting lainnya yakni gambut, mangrove dan karst. Sebab, sabana dapat menyimpan cadangan air, menyimpan karbon, dan melindungi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, sebagai ekosistem esensial, pelestarian padang sabana mendesak dilakukan.

“(Hal) yang harus dipikirkan kita, apa yang harus ditanggung kalau sabana hancur,” ujar Zenzi saat pembukaan Pekan Lingkungan Hidup Nasional ke-XIV di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Pulau Sumba, NTT, Kamis (18/9).

Ia mencontohkan kehancuran ekosistem gambut yang terjadi di sejumlah daerah. Gambut dikeringkan untuk tanaman sawit. Padahal ekosistem alami gambut seharusnya basah. Hal ini memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat musim kemarau.

Di tempat yang sama, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menuturkan bahwa di padang sabana hidup peradaban masyarakat. Akar dari alang-alang di padang sabana dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai obat, atap rumah- rumah tradisional memanfaatkan alang-alang. Sedangkan, bebatuan dari padang sabana bisa dijadikan bahan baku kapurBatu di padang sabana menjadi kapur. Menurutnya cadangan air di sabana juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dan minum ternak. Hanya saja, di Pulau Sumba dibutuhkan teknologi untuk hal itu.

“Sabana punya peradaban (ekosistem) air yang kuat. Kami tidak krisis air, tapi krisis terhadap akses air, masalahnya teknologi kita belum cukup untuk menjangkau air. Hampir semua kawasan di Sumba, bernama wai (air dalam Bahasa Sumba). Tidak mungkin nenek moyang kami asal kasih nama,” ujar Umbu Wulang.

Umbu Wulang menyayangkan ekosistem sabana tidak diteliti secara komprehensif. Padahal, fungsinya luar biasa bagi masyarakat lokal. Menurutnya sejauh ini belum ada ahli yang khusus menggeluti sabana. Apabila ekosistem sabana hilang, kata dia,  kearifan lokal dan tradisi masyarakat lokal terancam ikut hilang misalnya istialah dalam bahasa daerah dan tradisi tertentu yang digunakan masyarakat adat untuk mendeskripsikan sesuatu terkait sabana.

Di sisi lain, Pulau Sumba, tidak luput dari ancaman kerusakan lingkungan seiring masuknya investasi dan proyek atas nama Pembangunan. Menurut data Walhi, proyek food estate dan izin monokultur kepada PT Muria Sumba Manis telah mengubah sabana menjadi perkebunan tebu, meminggirkan masyarakat adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Merespons hal itu, Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekuwali mengaku bahwa pemerintah daerah (pemda) dihadapkan pada pilihan yang pelik. Ia menuturkan karakteristik topografi Sumba dengan luasan lahan padang sabana dan berbatu, menjadi tantangan untuk menerapkan pertanian konvensional. Oleh karena itu, kata dia, pemda memberikan izin bagi perusahaan untuk mengelola lahan tersebut.

“Pilihan ini tidak mudah bagi pemda. Di satu sisi ada perubahan pemanfaatan dan tutupan lahan yang tadinya padang terbuka menjadi lokasi usaha. Kami dihadapkan kondisi masyarakat yang tidak punya pilihan, padang panas yang berbatu untuk peternakan pun di musim kemarau, sangat tidak memungkinkan,” terang Umbu Lili yang hadir dalam Pekan Nasional Lingkungan Hidup.

Menurutnya dengan masuknya investasi, perusahaan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda setempat. Mereka, kata Umbu Lili, tidak perlu pergi mencari pekerjaan ke daerah lain seperti Bali atau bahkan menjadi buruh migran ke luar negeri.

“ Jadi pilihan ini yang kami juga lihat sebagai peluang dalam menjawab persoalan kemiskinan dan lapangan kerja yang terbatas,” papar dia.

Umbu Lili berujar bahwa pemda sangat selektif dalam memilih investasi yang masuk. Sebab, perlu ada dampak positif yang didapatkan masyarakat setempat.

“Tentu ini tanggung jawab pemda meminimalkan segala aktivitas yang cenderung akan merusak lingkungan,” tukasnya.

Zenzi menyampaikan alasan Sumba dipilih sebagai tuan rumah Pekan Nasional Lingkungan Hidup. Tujuannya agar tradisi orang Sumba menjaga alam dapat menjadi refleksi bagi daerah lain. (Ind)

SABANA merupakan bentang alam dengan karakteristik padang rumput diselingi pepohonan. Di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), sabana memiliki peran penting dalam kesatuan ekologis yang lekat dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan sabana sama seperti ekosistem penting lainnya yakni gambut, mangrove dan karst. Sebab, sabana dapat menyimpan cadangan air, menyimpan karbon, dan melindungi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, sebagai ekosistem esensial, pelestarian padang sabana mendesak dilakukan.

“(Hal) yang harus dipikirkan kita, apa yang harus ditanggung kalau sabana hancur,” ujar Zenzi saat pembukaan Pekan Lingkungan Hidup Nasional ke-XIV di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Pulau Sumba, NTT, Kamis (18/9).

Ia mencontohkan kehancuran ekosistem gambut yang terjadi di sejumlah daerah. Gambut dikeringkan untuk tanaman sawit. Padahal ekosistem alami gambut seharusnya basah. Hal ini memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat musim kemarau.

Di tempat yang sama, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menuturkan bahwa di padang sabana hidup peradaban masyarakat. Akar dari alang-alang di padang sabana dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai obat, atap rumah- rumah tradisional memanfaatkan alang-alang. Sedangkan, bebatuan dari padang sabana bisa dijadikan bahan baku kapurBatu di padang sabana menjadi kapur. Menurutnya cadangan air di sabana juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dan minum ternak. Hanya saja, di Pulau Sumba dibutuhkan teknologi untuk hal itu.

“Sabana punya peradaban (ekosistem) air yang kuat. Kami tidak krisis air, tapi krisis terhadap akses air, masalahnya teknologi kita belum cukup untuk menjangkau air. Hampir semua kawasan di Sumba, bernama wai (air dalam Bahasa Sumba). Tidak mungkin nenek moyang kami asal kasih nama,” ujar Umbu Wulang.

Umbu Wulang menyayangkan ekosistem sabana tidak diteliti secara komprehensif. Padahal, fungsinya luar biasa bagi masyarakat lokal. Menurutnya sejauh ini belum ada ahli yang khusus menggeluti sabana. Apabila ekosistem sabana hilang, kata dia,  kearifan lokal dan tradisi masyarakat lokal terancam ikut hilang misalnya istialah dalam bahasa daerah dan tradisi tertentu yang digunakan masyarakat adat untuk mendeskripsikan sesuatu terkait sabana.

Di sisi lain, Pulau Sumba, tidak luput dari ancaman kerusakan lingkungan seiring masuknya investasi dan proyek atas nama Pembangunan. Menurut data Walhi, proyek food estate dan izin monokultur kepada PT Muria Sumba Manis telah mengubah sabana menjadi perkebunan tebu, meminggirkan masyarakat adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Merespons hal itu, Bupati Sumba Timur Umbu Lili Pekuwali mengaku bahwa pemerintah daerah (pemda) dihadapkan pada pilihan yang pelik. Ia menuturkan karakteristik topografi Sumba dengan luasan lahan padang sabana dan berbatu, menjadi tantangan untuk menerapkan pertanian konvensional. Oleh karena itu, kata dia, pemda memberikan izin bagi perusahaan untuk mengelola lahan tersebut.

“Pilihan ini tidak mudah bagi pemda. Di satu sisi ada perubahan pemanfaatan dan tutupan lahan yang tadinya padang terbuka menjadi lokasi usaha. Kami dihadapkan kondisi masyarakat yang tidak punya pilihan, padang panas yang berbatu untuk peternakan pun di musim kemarau, sangat tidak memungkinkan,” terang Umbu Lili yang hadir dalam Pekan Nasional Lingkungan Hidup.

Menurutnya dengan masuknya investasi, perusahaan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda setempat. Mereka, kata Umbu Lili, tidak perlu pergi mencari pekerjaan ke daerah lain seperti Bali atau bahkan menjadi buruh migran ke luar negeri.

“ Jadi pilihan ini yang kami juga lihat sebagai peluang dalam menjawab persoalan kemiskinan dan lapangan kerja yang terbatas,” papar dia.

Umbu Lili berujar bahwa pemda sangat selektif dalam memilih investasi yang masuk. Sebab, perlu ada dampak positif yang didapatkan masyarakat setempat.

“Tentu ini tanggung jawab pemda meminimalkan segala aktivitas yang cenderung akan merusak lingkungan,” tukasnya.

Zenzi menyampaikan alasan Sumba dipilih sebagai tuan rumah Pekan Nasional Lingkungan Hidup. Tujuannya agar tradisi orang Sumba menjaga alam dapat menjadi refleksi bagi daerah lain. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |