
PENGAMAT politik Antonius Made Tony Supriatma, Visiting Research Fellow di ISEAS Yusof Ishak Institute menilai, peran militer di ruang sipil semakin menguat pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, hal ini terlihat dari rentetan kebijakan pemerintah hingga dinamika politik yang terjadi belakangan.
“Kalau dilihat dari rentetan peristiwa, setelah Prabowo terpilih ini banyak sekali demonstrasi besar. Di 2025 jaraknya semakin pendek dan jumlah massa aksinya semakin besar,” kata Made dalam diskusi Bahaya Militerisme: Ancaman Pembela HAM dan Militerisasi Ruang Siber, Jumat (12/9).
Made mengatakan para militer memandang situasi eskalasi demonstrasi yang terjadi selama setahun terakhir tersebut harus segera dihentikan, salah satunya melalui tindakan yang bersifat represif.
“Salah satu cara untuk menghentikannya adalah dengan crackdown. Bagaimana crackdown itu dilakukan? Itu harus ada kekerasan,” ujarnya.
Made juga menyoroti pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang dianggap secara terang-terangan telah menegaskan peran TNI telah masuk dalam urusan keamanan dalam negeri.
“Syafri terang-terangan menyatakan bahwa TNI mengurusi keamanan, sementara Polri dan kejaksaan mengurusi penegakan hukum. Ini menurut saya mengambil alih secara terang-terangan urusan keamanan dalam negeri,” tegasnya.
Menurut Made, penunjukan Sjafrie sebagai Menko Polkam menggantikan Budi Gunawan juga akan memperkuat posisi militer dalam ranah keamanan sipil.
“Syafri adalah orang yang sangat dipercaya di kalangan Prabowo dan punya kedekatan dengan para jenderal. Sementara politisi sipil di luar itu saya kira hanya akan menjadi outlier dari kekuasaan yang tidak mungkin menembus kekuatan ini,” katanya.
Ia juga menyoroti kebijakan perluasan struktur militer TNI yang dilakukan Presiden Prabowo, termasuk penambahan batalyon, 22 kodam baru serta peningkatan jumlah personel hingga dua kali lipat menjadi 1 juta prajurit.
“Menurut saya, tidak harus segitunya. Pertanyaan paling besar, pembengkakan organisasi militer ini akan melayani kepentingan apa? Apakah kepentingan luar negeri, apakah kita akan ada perang, atau melayani kepentingan domestik?” ujarnya.
Tak sampai di situ, Made menilai peran militer di ruang sipil juga semakin kuat dalam sektor pertanian. Kondisi ini mengingatkan kembali pada praktik era Orde Baru, ketika tentara terlibat langsung dalam urusan pangan.
“Mereka yang berada di pedesaan khususnya Petani sangat sering berurusan dengan tentara. Tentara yang membagikan bibit, mendistribusikan pupuk dan insektisida, bahkan menentukan jadwal tanam,” ujarnya.
Made menjelaskan, jika petani tidak mengikuti arahan militer, mereka bisa mendapat teguran keras dari aparat. Menurutnya, praktik ini memperlihatkan tentara telah mengintervensi urusan pangan dengan alasan menjaga kedaulatan negara.
“Seandainya di luar komando mereka, petani akan dimarahi. Bahkan benih yang ditanam pun ditentukan oleh tentara, ini persis seperti di zaman Orde Baru. Jadi bukan sesuatu yang mengada-ada jika keterlibatan tentara kembali muncul dalam urusan kedaulatan pangan,” katanya.
Lebih jauh, Made menilai militerisasi ruang sipil merupakan bagian dari agenda sentralisasi kekuasaan. “Hubungan antara militerisme dan tujuan kekuasaan dengan cara para elit sekarang melihat Indonesia adalah lewat militer. Militerisme memang sedang dikembangkan,” ucapnya.
Sebagai seseorang yang pernah hidup dalam rezim militer Orde Baru, Made mengaku prihatin dengan perkembangan militerasasi yang kembali di era reformasi.
“Saya sebagai orang yang 32 tahun pertama hidup dalam rezim militer sebenarnya sangat sedih. Tetapi apa boleh buat, pemimpin sipil (Jokowi) yang pernah kita pilih dan harapkan untuk memelihara tradisi sipil ternyata akhirnya seperti ini. Saya tetap menyalahkan itu,” pungkasnya. (Dev/P-2)