
PEMERINTAH perlu menghentikan dan mengevaluasi jalannya program Makan Bergizi (MBG). Penghentian dan evaluasi ini dibutuhkan supaya pemerintah fokus pada evaluasi dan pengembangan tata kelola serta desain program yang lebih jelas dan berbasis bukti.
Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Jimmy Daniel Berlianto menuding, setelah lebih dari enam bulan berjalan tanpa tata kelola yang jelas, ambisi pemerintah untuk terus memperluas jumlah penerima manfaat justru berisiko memperparah kasus yang sudah terjadi. Seperti, keracunan dan konsumsi pangan ultraolahan.
“Penting bagi pemerintah untuk menghentikan sementara dan mengevaluasi jalannya program MBG," tegasnya dalam keterangan resmi, Minggu (21/9).
Dalam penelitiannya, CIPS mengidentifikasi adanya permasalahan yang menghambat tercapainya efektivitas dari program ini. Pertama, belum adanya kerangka regulasi yang jelas yang menjadi payung hukum program andalan Presiden Prabowo Subianto ini. MBG belum diatur secara jelas dalam kerangka peraturan tertentu, seperti undang-undang (UU) dan peraturan presiden (perpres). Hal ini menyebabkan belum jelasnya pembagian peran antar lembaga.
Kedua, tanpa evaluasi yang mendalam, pemerintah mempercepat target jangkauan penerima manfaat MBG yang berjumlah 82,9 juta dari 2029 menjadi 2025. Dalam target pada dokumen perencanaan teknokratis, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2025-2029, berubah-ubah dari 17,8 - 19,47 juta orang untuk dicapai akhir 2025. Target ini berubah menjadi 82,9 juta orang untuk dicapai akhir 2025. Padahal, program MBG masih berpotensi meningkatkan risiko.
Jimmy menambahkan, dalam rapat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang berlangsung pekan lalu, Presiden Prabowo mengumumkan program MBG akan mendapatkan tambahan anggaran yang diambil dari anggaran pendidikan yang berjumlah Rp 757,8 triliun. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan komponen anggaran pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya jika tanpa program MBG.
"Penambahan anggaran untuk Program MBG ini belum tentu berhasil mencapai dampak yang diinginkan," tuturnya.
Jimmy menegaskan peningkatan anggaran perlu diikuti adanya efektivitas. Sementara hal itu adalah hal yang belum terbukti sejak berjalannya program ini di awal 2025. Penyerapan anggaran untuk pelaksanaan MBG berkisar Rp 8 triliun per awal Agustus. Hal ini menandakan penyerapan rata-rata sekitar Rp 1,14 triliun per bulan sejak resmi dimulai pada 6 Januari 2025.
Di satu sisi, ia melihat pengurangan anggaran pendidikan untuk MBG berisiko terhadap konsistensi kebijakan dan pengembangan program di sektor ini, apalagi jika yang dikurangi adalah Transfer ke Daerah (TKD) untuk pendidikan.
"Hal ini tentu akan berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan," ucapnya.
Padahal, pemerintah masih menghadapi tantangan serius dalam memperbaiki ketimpangan pendidikan di Indonesia. Kompleksitas masalah sumber daya manusia tidak bisa hanya diselesaikan dengan program MBG.
Peniliti CIPS itu menekankan pemerintah belum memiliki perencanaan yang matang mengenai apa yang ingin dicapai lewat program MBG. Tanpa perencanaan dan tata kelola yang jelas, program MBG justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru, seperti memperlebar ketimpangan antar daerah karena ketidaksiapan pengembangan program.
Hal senada disampaikan Kepala Center of Digital Economy & SMEs Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Izzudin Al Farras. Ia menegaskan perlunya evaluasi total terhadap program MBG.
Pihaknya mencatat lebih dari 5.000 kasus keracunan menimpa anak-anak sekolah di berbagai daerah. Data menunjukkan, hingga Agustus 2025 kasus keracunan mencapai lebih dari 4.000, dan meningkat menjadi 5.360 kasus pada September 2025. Tingginya kasus keracunan tersebut menimbulkan kekhawatiran serius.
"Jangan sampai ini hanya dipandang sebagai angka statistik. Pemerintah wajib berbenah terlebih dahulu sebelum memperluas cakupan dan menambah anggaran MBG pada 2026 mendatang,” katanya dalam unggahan yang ditulis di media sosial Indef.
Selain faktor kesehatan, program MBG dikhawatirkan menimbulkan persoalan fiskal karena menyedot anggaran cukup besar. Dalam RAPBN 2026, MBG tercatat mengambil 29,51% anggaran pendidikan serta 10,12% anggaran kesehatan. Kondisi ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan fiskal di tengah pelebaran defisit anggaran negara.
Indef pun mengajukan sejumlah rekomendasi kebijakan, antara lain menghentikan sementara program MBG, melakukan evaluasi menyeluruh, serta memperbaiki skema pelaksanaannya.
Jika program ini dilanjutkan, Indef menyarankan agar dilakukan secara bertahap dengan fokus pada lima provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting dan tingkat kemiskinan tinggi, yakni Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. (H-2)