
KEPUTUSAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dokumen pencapresan sebagai informasi yang dikecualikan menuai kritik tajam.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai langkah itu bukan hanya menafikan prinsip keterbukaan informasi, tetapi juga berpotensi menggerus hak publik dan membatasi kemerdekaan pers.
“Keputusan KPU yang memasukkan dokumen pencapresan sebagai informasi yang dikecualikan sudah menafik prinsip keterbukaan. Hal yang sama juga berlaku pada 16 persyaratan yang tak boleh dibuka ke publik,” ujar Jamiluddin saat dihubungi Media Indonesia, Senin (15/9).
Menurutnya, dokumen pencapresan yang wajar dikecualikan hanyalah yang terkait dengan kesehatan calon, karena telah diatur dalam undang-undang.
“Jadi, aneh bila fotokopi ijazah sebagai syarat administrasi pencapresan tidak bisa diakses oleh khalayak umum. Keputusan KPU ini dengan sendirinya sudah mengabaikan prinsip keterbukaan informasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan, dokumen pribadi yang dijadikan syarat pencapresan otomatis telah masuk ranah publik. Karena itu, tidak ada dasar kuat bagi KPU untuk menutup akses terhadap 16 persyaratan lain yang ditentukan.
“Sudah tak seharusnya KPU membuat aturan yang tak sejalan dengan keterbukaan informasi. Hal itu sudah pasti mengingkari kehendak demokrasi,” ucap mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.
Ia menegaskan, KPU perlu segera mencabut aturan yang memasukkan dokumen pencapresan dan persyaratan lain sebagai informasi dikecualikan.
“Hanya dokumen kesehatan yang bisa masuk kategori informasi yang dikecualikan,” tambahnya.
Bagi Jamiluddin, sikap KPU kali ini bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan tindakan serius yang berpotensi mereduksi hak dasar masyarakat dan kebebasan pers.
“Dengan memasukkan dokumen pencapresan sebagai informasi yang dikecualikan, berarti KPU sudah mengkebiri hak masyarakat memperoleh informasi. Hal ini juga membatasi wartawan untuk mendapatkan informasi, sekaligus membatasi kemerdekaan pers,” pungkasnya. (Far/P-3)