Ilustrasi(Kemendikdasmen)
KETUA Koalisi Barisan Guru Indonesia (Kobar Guru Indonesia), Soeparman Mardjoeki Nahali, menilai kebijakan Tes Kompetensi Akademik (TKA) yang telah dilakukan di berbagai daerah bersifat ambivalen. Meskipun TKA tidak diwajibkan untuk diikuti oleh setiap murid, pemerintah menjadikannya sebagai alat standardisasi seleksi akademik.
“Dengan tujuan standarisasi ini mau tidak mau pemerintah akan mendorong keterlibatan seluruh siswa untuk mengikuti TKA. Dari sejumlah laporan yang disampaikan guru dan murid, terdapat indikasi banyaknya satuan pendidikan yang mewajibkan muridnya untuk mengikuti TKA,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (2/11).
Menurut Soeparman, dengan menjadikan TKA sebagai acuan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan, pemerintah daerah dan satuan pendidikan otomatis akan menjadi mesin pengendali untuk memastikan keikutsertaan semua murid. Langkah itu dilakukan dengan dalih agar TKA dapat dipakai sebagai alat penjaminan mutu pendidikan pada satuan pendidikan dan daerahnya.
“Selain itu, meskipun TKA tidak dijadikan sebagai syarat kelulusan, tetap saja berpotensi menimbulkan masalah sebagaimana terjadi di masa pemberlakuan Ujian Nasional (UN),” tegas Soeparman.
Ia menilai TKA berpotensi menimbulkan tekanan psikologis bagi sejumlah murid, terutama mereka yang gagal lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Nilai rapor yang diperoleh selama tiga tahun dapat dianggap tidak layak setelah divalidasi oleh hasil TKA, padahal rendahnya hasil ujian bisa disebabkan faktor kecemasan atau kesehatan.
“Ini pernah terjadi saat pemberlakuan UN di mana sejumlah anak berprestasi memperoleh hasil UN di bawah standar kelulusan. Ternyata penyebabnya adalah tekanan psikis dan kondisi fisik yang tidak sehat saat ujian. Oleh karena itu menjadikan TKA sebagai validator nilai rapor untuk menentukan kelulusan peserta SNBP adalah kebijakan yang merugikan murid karena mengabaikan perjuangan para murid selama tiga tahun untuk memperoleh prestasi akademik di sekolahnya,” jelasnya.
Kesenjangan Sosial dan Praktik Bimbel
Soeparman juga mengingatkan, TKA dapat menyuburkan kembali bisnis bimbingan belajar (bimbel) yang memperlebar kesenjangan sosial antara murid kaya dan miskin.
“Praktik bimbel di dalam sekolah akan menambah biaya operasional sekolah dan berdampak mengurangi kualitas pembelajaran karena adanya pengabaian terhadap mata pelajaran yang tidak masuk TKA,” kata Soeparman.
Selain itu, TKA juga dinilai bisa memicu perilaku koruptif seperti pada masa Ujian Nasional, mulai dari praktik menyontek, kebocoran soal, hingga jual beli kunci jawaban.
“Dengan menjadikan TKA sebagai validator nilai rapor untuk SNBP dan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jalur prestasi, maka kebijakan ini tidak menghargai otonomi kerja profesi guru dalam memberikan penilaian berkala kepada murid-muridnya,” urainya.
Menurutnya, pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyebutkan banyaknya guru yang memberikan sedekah nilai sehingga perlu divalidasi oleh hasil TKA untuk lolos SNBP dan SPMB jalur prestasi adalah kecurigaan yang berlebihan dan tidak mendasar. Ia menilai pernyataan tersebut dapat berindikasi sebagai pelecehan terhadap profesi guru.
“Jika Menteri menemukan sejumlah kasus inkompetensi guru dalam memberikan penilaian terhadap muridnya, maka seharusnya diperbaiki kompetensinya agar bekerja profesional. Bukan menggunakan alat lain sebagai penggantinya,” ucap Soeparman.
Pelajaran dari Kasus Ujian Nasional
Soeparman menekankan bahwa Mendikdasmen perlu mengingat kembali keputusan pengadilan pada 2006 yang menyatakan kebijakan Ujian Nasional melanggar hak anak atas pendidikan. Karena itu, penyelenggaraan kebijakan pengganti seperti TKA wajib berpedoman pada prinsip keadilan akademik, sosial, dan ekonomi agar tidak melalaikan hak-hak anak. (Des/I-1)


















































