
PENGAMAT politik dan pemerintahan Universitas Terbuka Insan Praditya Anugrah mengingatkan negara tentang pentingnya posisi supremasi sipil sebagai esensi demokrasi Indonesia. Insan mengingatkan bahwa supremasi sipil tak sekedar penyelenggaraan negara yang secara formal diemban sipil dan posisi militer yang secara formal berada di bawah kendali sipil. Namun, supremasi sipil juga harus berupa penjaminan masyarakat sipil untuk bebas dari kekerasan, pembatasan dan kontrol atas aktivisme dan protes terhadap pemegang kekuasaan.
Supremasi sipil dilihat dari konteks hubungan sipil-militer terwujud secara formal ketika sipil memiliki kendali penuh atas militer. Militer sudah seharusnya tunduk kepada sipil, bersikap profesional dan tidak mengurusi hal selain pertahanan. Itu adalah kondisi objective civilian control, sebuah bentuk ideal yang dikemukakan Samuel Huntington pada 1957. Militer, seharusnya benar-benar berada di barak dan fokus kepada pertahanan negara menghadapi ancaman eksternal.
"Namun,dalam beberapa waktu terakhir, peran militer semakin besar dalam aktivitas selain perang. Meskipun militer tetap tunduk kepada institusi sipil dan tidak menguasai penyelenggaraan negara seperti tipe militer praetorian, namun militer akhir-akhir ini diberi kesempatan untuk mengawasi aktivitas masyarakat umum," kata Insan dalam keterangannya, di Jakarta Selasa (24/9).
Insan melihat, bahwa institusi birokrasi sipil saat ini dilanda krisis kepercayaan, namun momentum ini justru membuat penyelenggara negara memberikan kesempatan lebih bagi militer berperan melebihi aspek pertahanan.
" Kita bisa melihat, sejak sekitar 2019 tampak terjadi krisis kepercayaan terhadap institusi-institusi sipil negara yang dianggap lemah, korup dan tidak efektif. Birokrasi sipil bahkan seringkali kurang dapat dipercaya karena inefisiensi waktu kerja dan praktik korupsi anggaran. Rezim pun tampaknya merespons hal ini dengan memperluas peranan militer yang kita bisa lihat di UU TNI terbaru", lanjut Insan.
Pelibatan militer dalam menjaga lembaga-lembaga elit negara dari aksi massa seharusnya tidak terjadi di negara demokratis seperti Indonesia. Demikian pula keterlibatan militer dan intelijen militer dalam mengawasi dinamika politik seperti aktivisme siber dan demonstrasi yang seharusnya merupakan ranah sipil.
"Meskipun sipil masih memegang kendali, bukan seperti era dominasi militer ala Orde Baru, namun kondisi di mana militer diikutsertakan dalam memantau dan mengawasi dinamika politik sipil dapat menjadi awal disrupsi demokrasi. Hal ini karena militer rentan dijadikan alat rezim untuk mengendalikan aktivisme sipil," ujarnya.
Insan juga menambahkan bahwa supremasi sipil juga lebih dari soal penguatan lembaga negara sipil atas militer. Penguatan sipil dewasa ini juga soal bagaimana organisasi masyarakat sipil diindungi dalam memantau dan memberi kritik tentang bagaimana kekuasaan dikelola oleh penyelenggara negara yang juga sipil.
.
"Dalam konteks demokrasi dewasa ini, supremasi sipil bukan sekedar penguatan lembaga negara sipil seperti pemerintah, parlemen dan yudikatif untuk berada di atas militer, namun juga penguatan kontrol masyarakat sipil seperti LSM, organisasi buruh, mahasiswa,dll atas penyelenggara negara pemegang kuasa. Sebab, excessive force dapat digunakan tidak hanya oleh militer, ada juga lembaga sipil seperti polisi, satpol PP bahkan pihak keamanan lainnya yang dibekali kemampuan dan alat untuk melakukan kekerasan demi mengamankan penyelenggara negara sebagai lembaga sipil pemegang kuasa," pungkasnya. (Cah/P-3)