
RENCANA pemerintah yang diinisiasi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengalihkan dana kas negara sebesar Rp200 triliun yang selama ini disimpan di Bank Indonesia ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) perlu dikawal ketat. Aliran dana perlu dipastikan tidak dikucurkan besar-besaran ke proyek energi fosil untuk menghindari menjadi batu sandungan transisi energi dan risiko kredit macet bagi perbankan.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menggarisbawahi kekhawatiran pemindahan kas pemerintah dari BI ke Himbara nantinya justru akan lebih banyak digunakan untuk membiayai pinjaman sektor energi fosil, dibanding mengalokasikannya untuk pendanaan iklim dan pengembangan sektor energi terbarukan.
"Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekedar diserahkan ke bank Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset) dan kredit macet,” kata Bhima dikutip dari siaran pers yang diterima, Sabtu (13/9).
Sebagai langkah tindak lanjut, Bhima menilai agar Menteri Keuangan perlu membuat perjanjian dan regulasi yang spesifik. Salah satunya dapat dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan guna memastikan dana pemerintah dikelola sejalan dengan misi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
“Likuiditas tambahan bagi bank Himbara bukan sekedar mendorong pertumbuhan kredit, tapi juga targeted, tepat sasaran ke sektor yang membuka lapangan kerja. Nah, sektor energi terbarukan itu punya andil mendorong 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun kedepan. Tapi selama ini bank Himbara kurang dari 1% porsi penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan. Peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang prospektif,” jelas Bhima.
Senada, Dwi Wulan, Policy Strategist CERAH menyatakan bahwa pemanfaatan kas tersebut seharusnya diarahkan untuk proyek-proyek berkelanjutan, yakni energi terbarukan. Apalagi, dari potensi energi terbarukan Indonesia yang menyentuh 3.687 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru sekitar 13 GW atau kurang dari 1%.
“Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif, sehingga Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas fiskal, tapi juga membangun ketahanan energi dan mempertegas komitmen iklim nasional,” ujar Dwi Wulan.
Dwi Wulan memproyeksikan, proses industrialisasi –termasuk hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit– membutuhkan tambahan energi listrik hingga 50-60 GW pada 2040. Jika kebutuhan tersebut masih bergantung pada energi fosil, risiko stranded asset sangat besar.
“Karena itu, pemerintah dan Bank Himbara perlu mengadopsi dan penguatan kerangka ESG (Environmental, Social, Governance) sebagai panduan penyaluran dana. Prinsip ini memastikan arus pembiayaan tidak menyuburkan sektor fosil, melainkan mendorong transformasi menuju ekonomi hijau yang lebih resilien, inklusif, dan berkeadilan. Dengan memperkuat instrumen ESG, Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinan dalam mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” tutur Dwi.(H-2) Wulan.