
PENELITI dari Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai dasar Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menetapkan Eks Mendikbud Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop di Kemendikbud-Ristek sudah tepat.
“Lazimnya tindakan korupsi yang pintu masuknya adalah kerugian keuangan negara, memang hanya dua itu antara pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Jadi konstruksi perkara-perkara korupsi yang memang basisnya adalah kerugian keuangan negara, sudah tepat pasti menggunakan dua pasal itu,” kata Herdiansyah saat dikonfirmasi, Jumat (5/9).
Herdiansyah menjelaskan, Kejagung memiliki tugas besar untuk membongkar secara detail seluruh kejanggalan dalam pengadaan laptop tersebut, termasuk keterlibatan pejabat di tingkat tertinggi.
“Sekarang tugas Kejaksaan Agung adalah membuktikan secara detail dan komprehensif bahwa pengadaan laptop itu memang penuh masalah,” jelasnya.
Herdiansyah juga mempertanyakan posisi mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam kasus ini, mengingat sejumlah orang di sekitarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Bagaimana mungkin, misalnya, staf khususnya sudah tersangka, konsultannya juga tersangka, beberapa pejabat di bawahnya tersangka. Logikanya sederhana, bagaimana mungkin mereka yang ditetapkan sebagai tersangka itu tidak melibatkan persetujuan dari Nadiem sebagai pemilik otoritas tertinggi di kementerian?” tegasnya.
Lebih lanjut, Herdiansyah menilai, pernyataan bahwa Nadiem tidak mengetahui proses pengadaan sangat janggal. Menurutnya, sudah pasti Nadiem ikut bermain sebagai pemegang pimpinan tertinggi kementerian.
“Kalau kemudian disebut tidak tahu-menahu, itu agak aneh. Bagaimana mungkin sekelas menteri tidak mengetahui keputusan-keputusan yang melibatkan staf khusus dan konsultannya? Itu harus didalami,” kata pria yang akrab disapa Castro itu.
Selain itu, Herdiansyah menyoroti aspek teknis pengadaan perangkat Chromebook yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Setahu saya, pada 2019 pengadaan serupa sudah pernah diuji coba dan dinyatakan gagal, terutama untuk daerah 3T. Kalau sudah pernah gagal, kenapa tetap memilih Chromebook?” ungkapnya. “Belum lagi bicara soal spesifikasi, perbedaan harga, dan faktor-faktor lain yang patut dicurigai,” tukasnya.
Ia juga menambahkan bahwa dalam tindak pidana korupsi, biasanya terdapat delik penyertaan atau deelneming, sehingga penting untuk mengurai peran tiap individu yang terlibat.
“Mesti dipastikan bagaimana porsi dan peran masing-masing tersangka. Siapa aktor intelektualnya, siapa yang menjadi directing mind, siapa pelaku di lapangan, siapa yang membantu melakukan,” ucapnya.
Tak hanya itu, Herdiansyah mendorong penelusuran aliran dana atau strategi follow the money untuk memastikan siapa saja yang menikmati hasil korupsi.
“Apakah hanya beberapa orang termasuk Nadiem, atau jangan-jangan ada pihak lain yang juga menikmati hasil korupsi ini? Itu harus disasar juga,” imbuhnya.
Lebih jauh, ia mengkritik penempatan sosok berlatar belakang bisnis seperti Nadiem di sektor pendidikan, yang menurutnya memiliki logika dan pendekatan berbeda.
“Kalau ingin membangun sektor pendidikan dengan baik, maka muatan pendidikannya harus lebih dominan. Tidak cocok seorang pebisnis, apalagi mantan pengusaha seperti Nadiem, ditempatkan di kementerian pendidikan,” ujar Herdiansyah.
Menurutnya, jika orang yang berlatar belakang bisnis ditugaskan mengelola pendidikan, maka pendekatan yang digunakan pasti cenderung berbasis keuntungan, bukan kualitas pendidikan. “Kalau pebisnis disuruh mengelola pendidikan, ya pasti akan pakai perspektif bisnis,” tuturnya.
Lebih jauh, Herdiansyah juga menyindir pola Presiden yang kerap kali membagi-bagikan jabatan kabinet hanya berdasar pada keberpihakan politik dan menihilkan prinsip integritas.
“Hentikanlah kebiasaan presiden yang hanya sekadar bagi-bagi jatah bagi pendukung atau tim suksesnya. Penempatan di kementerian harus berbasis kompetensi dan relevansi, bukan politik balas budi,” pungkasnya. (Dev/P-2)