
MOLEKUL air beku merupakan salah satu senyawa yang paling melimpah di alam semesta. Memiliki peran penting baik di bagian dalam maupun di permukaan berbagai benda langit di tata surya.
Di Bumi, es membentuk gletser raksasa yang menutupi sebagian permukaan. Sementara itu, Pluto serta satelit-satelit besar seperti Europa, Ganymede, Titan, dan Enceladus memiliki bentang alam yang sebagian besar terbentuk dari es.
Pada dunia-dunia tersebut, es bukan hanya berupa lapisan permukaan, tetapi juga menjadi bahan utama yang membentuk bongkahan keras, pegunungan, bahkan gunung berapi. Dalam kondisi ekstrem, seperti tekanan yang sangat tinggi atau suhu yang sangat rendah, es dapat mengkristal menjadi struktur yang tidak pernah terbentuk secara alami di Bumi.
Menemukan serta mempelajari struktur kristal es semacam ini di bulan-bulan es, misalnya Ganymede, akan membuka wawasan tentang bagian dalam objek tersebut. Analogi yang sering digunakan adalah bagaimana batuan dari mantel Bumi yang terdorong ke permukaan memberi petunjuk tentang geologi bagian dalam planet kita.
Di laboratorium, struktur es biasanya dipelajari dengan bantuan sinar-X atau berkas neutron. Namun, instrumen besar semacam itu tidak mungkin dibawa serta ke wahana antariksa. Menanggapi keterbatasan ini, Christina Tonauer bersama timnya di Universität Innsbruck, Austria, melakukan eksperimen baru yang menunjukkan jenis-jenis es dapat dibedakan menggunakan spektroskopi inframerah.
Metode ini, dapat diaplikasikan dalam pengamatan jarak jauh, misalnya melalui Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) milik NASA atau misi JUICE (Jupiter Icy Moons Explorer) milik ESA yang sedang dalam perjalanan menuju sistem Jupiter. Hasil studi ini dipublikasikan di Physical Review Letters pada awal musim panas lalu.
Menurut Tonauer, es yang ia hasilkan di laboratorium hanya bisa terbentuk secara alami di ruang angkasa. Minatnya terhadap planet dan astronomi berpadu dengan latar belakang kimia fisika, sehingga mengarah pada riset unik ini.
Saat ia menempuh studi doktoralnya pada awal 2020, JWST memang belum diluncurkan. Namun, sudah jelas teleskop tersebut akan membuka kemungkinan baru dalam studi bulan-bulan es di tata surya luar.
Saat menelaah penelitian sebelumnya, Tonauer dan tim menyadari bahwa sebagian besar eksperimen spektroskopi es dilakukan pada panjang gelombang inframerah yang relatif Panjang, jangkauan yang tidak bisa ditangkap JWST. Karena itu, mereka tertarik untuk mengeksplorasi spektrum inframerah dekat (near-IR), yang justru sesuai dengan kapabilitas observatorium baru itu.
21 Fase Es
Hingga tahun 2025, 21 fase es yang berbeda telah diidentifikasi dalam eksperimen laboratorium, meskipun hanya satu bentuk yang ada dalam kondisi normal di Bumi. Bentuk tersebut disebut es Ih (dibaca “ice one aitch”), di mana “h” merujuk pada pola heksagonal yang diambil oleh atom oksigen molekul saat dilihat dari satu arah.
Kondisi yang memungkinkan peneliti mempelajari fase es lain di laboratorium secara alami terdapat di planet dan bulan lain, dan ilmuwan menyimpulkan fase-fase tersebut mungkin ada di sana. Ganymede dan dunia lain di sistem surya luar kemungkinan memiliki dinamika mantel yang serupa.
Model menunjukkan bahwa interior Ganymede kemungkinan memiliki mantel es setebal sekitar 800 km, yang terdiri dari berbagai bentuk es bertekanan tinggi. Dari sekian banyak fase, Tonauer dan timnya memilih untuk meneliti es V dan es XIII.
Kedua fase ini memiliki pola atom oksigen serupa, tetapi perbedaan terletak pada susunan atom hidrogennya. Pada es V, hidrogen tersusun acak, sedangkan pada es XIII, hidrogen lebih teratur.
Untuk menciptakan fase ini di laboratorium, peneliti mendinginkan air dengan nitrogen cair di bawah tekanan sekitar 5.000 atmosfer (500 MPa). Setelah terbentuk, kristal tersebut dapat tetap stabil pada tekanan normal selama suhunya sangat rendah, karena atom-atom bergerak terlalu lambat untuk mengubah struktur.
Walaupun begitu, pergerakan lambat molekul tetap menghasilkan getaran pada ikatan hidrogen, dan getaran inilah yang meninggalkan tanda khas dalam spektrum inframerah. Dari pengamatan mereka, Tonauer dan tim berhasil menunjukkan bahwa es V dan es XIII memang memiliki pola sinyal IR yang berbeda.
Hasil ini merupakan bukti eksperimental pertama perbedaan orientasi hidrogen dalam fase es bisa diidentifikasi dengan spektroskopi IR. Lebih lanjut, dengan simulasi JWST, para peneliti memperkirakan beberapa jam pengamatan sudah cukup untuk membedakan fase-fase es tersebut di permukaan Ganymede.
Fakta ini penting karena fase es yang terbentuk di bawah tekanan tinggi bisa tetap bertahan saat mencapai permukaan, meskipun tekanannya berkurang. Dengan demikian, jika es V atau es XIII ditemukan di permukaan Ganymede, keberadaan mereka akan menjadi “jendela” alami untuk mempelajari mantel dalam bulan itu.
Lautan Cair
Sampai saat ini, misi-misi ke Jupiter memang sudah membuktikan adanya lautan cair yang terjebak di antara lapisan es di Ganymede. Namun, struktur rinci dari lapisan es itu belum dapat dipastikan, bagaimana mereka tersusun, bergerak, dan berubah. Menurut model, tekanan tinggi di dalam Ganymede seharusnya cukup untuk menghasilkan es V, yang mungkin terdorong ke permukaan oleh aktivitas pasang surut akibat tarikan gravitasi Jupiter.
Dengan metode spektroskopi inframerah, ilmuwan kini memiliki cara untuk membedakan es Ih, es V, es XIII, maupun es amorf (yang tidak memiliki kristal teratur) tanpa harus membawa sampel kembali ke Bumi. Pendekatan ini bisa menguji langsung model-model teoritis tentang dinamika lapisan es di satelit-satelit luar.
Menurut Danna Qasim, seorang peneliti astrofisika laboratorium di Southwest Research Institute, studi ini berpotensi besar. Ia menekankan bahwa identifikasi es bisa lebih sulit jika butiran kristalnya kecil atau bercampur dengan es amorf yang tidak beraturan. Meski demikian, metode baru yang ditawarkan Tonauer dianggap menjanjikan untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai struktur internal bulan es.
Qasim menambahkan bahwa miliaran dolar diinvestasikan dalam misi antariksa besar seperti JWST dan JUICE. Oleh karena itu, eksperimen laboratorium semacam ini sangat penting agar data dari misi-misi tersebut benar-benar bisa dipahami dan dimanfaatkan secara maksimal. (Space/Z-2)