
LEMBAGA kajian Satu Honai Indonesia menyoroti langkah pemerintah yang menambah 12% saham di PT Freeport Indonesia, sehingga total kepemilikan negara kini mencapai 63%. Itu dinilai janggal karena tidak diiringi sikap keberatan dari Freeport McMoRan selaku pemegang saham asal Amerika Serikat, padahal keputusan tersebut berpotensi merugikan perusahaan tersebut.
Direktur Eksekutif Satu Honai Indonesia Hironimus Hilapok langkah itu menimbulkan tanda tanya besar terkait motif di balik kesepakatan tersebut. Ia menduga ada kemungkinan kesepahaman di luar kesepakatan publik, misalnya perjanjian perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga tahun 2061, atau pembukaan wilayah tambang baru seperti Kucing Liar yang memiliki cadangan bijih tembaga besar.
"Langkah penambahan 12% ini diklaim sebagai penguatan kendali negara, namun mengapa kepemilikan 51% yang sudah ada belum berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat Papua?" ujar Hilapok.
Ia juga mempertanyakan realisasi saham 10% yang seharusnya menjadi hak Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Kabupaten Mimika.
Satu Honai menilai, meski MIND ID menjadi pemegang saham utama Freeport, struktur kepemilikannya masih terlalu Jakarta-sentris dan tidak memberi ruang bagi partisipasi bermakna dari Orang Asli Papua (OAP).
"Model Papua People’s Ownership harus diwujudkan secara nyata, bukan hanya sebuah simbolik," kata Hilapok.
Ia menilai, tanpa keterlibatan langsung orang asli Papua dalam jajaran manajemen MIND ID maupun PT Freeport Indonesia, janji keadilan ekonomi hanya akan menjadi retorika.
Penempatan putra-putri terbaik Papua dalam posisi strategis dianggap sebagai prasyarat moral dan politik untuk memastikan kebijakan tersebut tidak menjadi bentuk baru kolonisasi ekonomi di tanah Papua.
Selain soal struktur kepemilikan, Hilapok juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam sejumlah instrumen internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), serta United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) 2007.
Pasal-pasal dalam perjanjian tersebut menjamin hak masyarakat adat untuk mengelola tanah dan sumber dayanya sendiri. Karena itu, menurut Hilapok, pemerintah Indonesia wajib mengembangkan tata kelola saham Freeport yang lebih partisipatif dan transparan.
Ia mengusulkan pembentukan Papua People’s Ownership Council yang melibatkan pemerintah daerah, tokoh adat, dan masyarakat sipil Papua sebagai pengawas pengelolaan saham Freeport.
"Tanpa desain partisipatif tersebut, kebijakan penambahan saham hanya akan memperpanjang ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi di tanah Papua," pungkasnya. (H-4)