Ilustrasi(Antara)
Pakar kebijakan publik Sulikah Asmorowati menilai rencana pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, untuk memotong dana program Makan Bergizi Gratis (MBG) apabila hingga akhir Oktober belum terserap bukanlah langkah yang tepat.
“Apabila tidak terserap pada akhir Oktober, itu bukan kebijakan yang efektif untuk mendorong percepatan realisasi program MBG,” ujar Sulikah kepada Media Indonesia, Senin (6/10).
Menurutnya, kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan efek negatif di lapangan. Para pelaksana program bisa saja berupaya mempercepat penyerapan dana tanpa memperhatikan aspek tata kelola dan keamanan pelaksanaan program. “Padahal saat ini tata kelola MBG masih bermasalah,” ujarnya.
Sulikah mencontohkan, beberapa waktu terakhir muncul kasus keracunan makanan di sejumlah daerah yang menunjukkan lemahnya aspek higienitas dan sanitasi dalam pelaksanaan program. Ia juga menyoroti masih adanya pendekatan top-down dan komunikasi yang kurang terbuka di lapangan.
“Ini menyangkut nyawa anak-anak. Kalau pelaksanaannya dipaksakan hanya untuk menyerap anggaran, risikonya sangat besar,” ucapnya.
Lebih lanjut, Sulikah menilai lambatnya serapan dana MBG disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti ketidaktepatan pendataan penerima, kurangnya pengawasan, serta belum efektifnya mekanisme distribusi. “Bahkan ada kasus sekolah pesantren dengan fasilitas bagus justru mendapatkan MBG, sementara yang seharusnya berhak malah tidak,” katanya.
Ia menegaskan bahwa dalam konteks pengelolaan anggaran pemerintah, baik APBN maupun APBD, seharusnya fokus utama adalah kinerja dan dampak, bukan sekadar tingkat penyerapan dana.
“Anggaran negara sekarang idealnya berbasis kinerja, dengan indikator yang jelas dan terukur. Jadi kalau ada sisa dana, tapi target kinerja tercapai, itu tidak masalah,” ungkapnya.
Sulikah menambahkan, evaluasi MBG perlu dilakukan dengan pendekatan key performance indicators (KPI) yang spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berbatas waktu (SMART). Dengan demikian, efektivitas program bisa dinilai dari hasil, bukan dari kecepatan menghabiskan anggaran.
“Lebih bijak jika pemerintah menjelaskan alasan teknis atau tata kelola yang menjadi kendala, bukan sekadar mengancam pemotongan anggaran. Karena anggaran berbasis kinerja tidak menuntut penyerapan 100%, tetapi pencapaian tujuan yang efisien dan berdampak,” tuturnya. (E-3)


















































