Ilustrasi(ANTARA FOTO/Suprian)
KEMENTERIAN Kehutanan memastikan seluruh kayu yang dihasilkan dan diperdagangkan dari Indonesia berasal dari sumber yang legal, lestari, dan terverifikasi. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut Laksmi Wijayanti menyatakan, seluruh pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan berdasarkan kerangka hukum yang ketat, mencakup skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Perhutanan Sosial, dan Hak Pengelolaan di kawasan hutan. Sementara di luar kawasan hutan, pemanfaatan kayu diatur melalui izin Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non-Kehutanan (PKKNK) di Areal Penggunaan Lain (APL).
Setiap kegiatan penyiapan lahan, penanaman hutan, maupun pembangunan infrastruktur wajib mengantongi izin resmi dan disertai tanggung jawab menjaga keseimbangan lingkungan serta sosial masyarakat sekitar.
"Seluruh kayu yang dihasilkan dari PBPH maupun PKKNK merupakan hasil dari proses legal yang diawasi dan diverifikasi ketat oleh Pemerintah melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK)," kata Laksmi, Jumat (24/10).
Ia menjelaskan, dalam kebijakan kehutanan nasional, deforestasi dimaknai sebagai perubahan permanen dari kawasan berhutan menjadi tidak berhutan. Karena itu, pemanfaatan kayu yang diatur pemerintah justru ditujukan agar sumber daya hutan yang bersifat terbarukan dapat dikelola secara optimal dan berkelanjutan.
“Pemerintah sudah melewati berbagai milestones dalam penyempurnaan kebijakan kelestarian dalam pemanfaatan hasil hutan, sekaligus memperkuat pengawasan dan mitigasi risiko-risiko negatifnya,” ujar Laksmi.
“Penyempurnaan tata kelola hutan secara terus menerus hingga kini masih menjadi kerangka dasar seluruh kebijakan, strategi, dan prioritas program kehutanan Indonesia," imbuh dia.
Menurut Laksmi, kegiatan pembukaan lahan tidak otomatis dikategorikan sebagai deforestasi atau tindakan ilegal. Pemerintah membedakan antara pembukaan lahan tanpa izin yang menimbulkan kerusakan lingkungan, dengan pembukaan yang dilakukan melalui mekanisme resmi untuk kepentingan pembangunan, seperti hutan tanaman, fasilitas umum, atau kegiatan strategis nasional.
Seluruh ketentuan itu diatur melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta berbagai regulasi turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021. Regulasi tersebut menegaskan kewajiban penerapan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), termasuk penanaman kembali, konservasi keanekaragaman hayati, dan pelibatan masyarakat di sekitar hutan.
“Pembukaan lahan pada areal PBPH Hutan Tanaman dan PKKNK merupakan bagian dari proses pengelolaan lanskap yang legal dan terukur,” jelas Laksmi.
Dalam konteks PBPH Hutan Tanaman, kegiatan tersebut diikuti oleh penanaman kembali (reforestasi) sehingga fungsi hutan tetap terjaga dalam siklus pengelolaan yang berkelanjutan. Dari kegiatan penyiapan lahan yang berizin tersebut dihasilkan kayu konversi atau kayu hasil land clearing yang diakui sah sepanjang berasal dari pemegang izin dan diproses melalui SVLK.
“Dalam rantai pasok industri dan perdagangan kayu, instrumen izin dan penaatannya merupakan tulang punggung,” tutur Laksmi.
Pemerintah, jelasnya, tidak pernah memberikan toleransi terhadap deforestasi ilegal dan tindakan-tindakan fraud karena nilai keunggulan Indonesia di pasar dunia adalah jaminan integritasnya. Oleh sebab itu, dua hal penting harus dilakukan selaras satu sama lain, yaitu mendudukkan konteks dan fakta atas klaim tindakan deforestasi ilegal, serta konsistensi penegakan hukum mandat peraturan perundangan.
Dalam pelaksanaannya, setiap izin mewajibkan tiga langkah utama, yakni inventarisasi hutan menyeluruh secara berkala (IHMB), penyusunan rencana kerja usaha jangka panjang yang berorientasi pada keseimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial, serta rencana kerja tahunan yang terukur agar potensi penyimpangan mudah terdeteksi.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Erwan Sudaryanto menambahkan, seluruh kayu yang beredar dari kegiatan berizin harus memiliki dokumen terverifikasi melalui SVLK.
“Sistem ini bukan hanya memastikan legalitas, tetapi juga menjamin bahwa setiap proses produksi dan perdagangan kayu memperhatikan prinsip kelestarian dan keterlacakan (traceability). Indonesia menjadi salah satu negara dengan sistem verifikasi kayu paling transparan di dunia,” ujar Erwan.
Menurut Erwan, SVLK terus diperkuat agar selaras dengan perkembangan kebijakan global, termasuk aturan perdagangan bebas deforestasi, tanpa mengabaikan keadilan bagi pelaku usaha dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan.
“Di tingkat operasional, kegiatan penebangan kayu terdata mulai dari titik lokasinya, ukuran volume panen, hingga konsistensinya dalam rantai pengolahan hulu-hilir, termasuk kewajiban penanaman kembali dan pemulihan ekosistemnya,” ungkap Erwan.
Pihaknya ingin publik dan mitra dagang internasional memiliki keyakinan bahwa kayu Indonesia berasal dari sumber yang legal, lestari, dan diverifikasi secara transparan. "Sistem ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya mengekspor produk kayu, tetapi juga mengekspor nilai-nilai keberlanjutan," kata dia.
Pemerintah menegaskan akan terus menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan dukungan masyarakat, dunia usaha, dan mitra internasional, Indonesia berkomitmen memperkuat sistem tata kelola hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan.(M-2)


















































