Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Iqbal Shoffan Shofwan.(MI/Muhammad Ghifari A)
                            PEMERINTAH secara serius menargetkan penurunan signifikan pada biaya logistik nasional dalam rangka meningkatkan daya saing industri dan nilai tambah perekonomian. Target ambisius ditetapkan untuk menekan persentase biaya logistik dari angka saat ini yang berada di kisaran 14,29% menjadi 12% pada tahun 2029.
Upaya ini dianggap krusial untuk menopang posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam manufaktur global.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iqbal Shoffan Shofwan, menyampaikan bahwa upaya efisiensi ini merupakan tindak lanjut dari atensi Presiden.
“Bayangkan, dari 22% di tahun 2022, kini sudah menjadi 14,29% di tahun 2025. Target di tahun 2029 adalah 12%, dan ke depannya kita ingin mencapai seperti negara maju yaitu 8%,” ujar Iqbal di Alam Sutera (4/11).
Digitalisasi Perdagangan Antar Pulau Jadi Kunci
Untuk mencapai target penurunan biaya logistik tersebut, Kemendag fokus pada digitalisasi perdagangan antar pulau. Regulasi baru yang tengah disiapkan, seperti diamanatkan dalam Peraturan Menteri Nomor 27 Tahun 2014, bertujuan menyederhanakan proses.
"Setiap pelaku usaha cukup memasukkan satu input saja, kemudian itu bisa digunakan, mulai dari masuk pelabuhan, shipping instruction, dan segala macam, ini menjadi lebih efisien,” jelas Iqbal.
Kemendag juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan agar pergerakan barang antar pulau tidak hanya tercatat beratnya, tetapi juga jenis dan tujuan barang yang dibawa, sehingga menciptakan transparansi dan efisiensi yang masif.
Manufaktur Indonesia Menarik di Mata Dunia
Penurunan biaya logistik ini sangat krusial mengingat kuatnya posisi Indonesia di sektor manufaktur global yang menarik investasi. Staf Ahli Menteri Bidang Pendalaman, Penyebaran, dan Pemerataan Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Adie Rochmanto Pandiangan, menyoroti daya tarik ini dengan data konkret.
“Nilai global Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia di tahun 2024 mencapai $265,07 miliar. Hal ini melampaui nilai rata-rata MVA dunia,” kata Adie. Pencapaian ini menempatkan Indonesia masuk dalam 15 negara dengan nilai MVA tertinggi di dunia. Di tingkat Asia sendiri, nilai MVA Indonesia berada di peringkat kelima setelah Tiongkok, Jepang, India, dan Korea Selatan.
Adie menambahkan bahwa Kemenperin mencatat rata-rata realisasi investasi sektor industri Pengolahan Non-Migas sepanjang Januari 2025 mencapai 61,5%. Angka ini menunjukkan bahwa ruang untuk berekspansi bagi pelaku industri di Tanah Air masih sangat besar untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kapasitas.
Strategi Industrialisasi Baru
Kemenperin menyambut baik kolaborasi dengan sektor ritel dan global sourcing karena hal ini sejalan dengan strategi baru industrialisasi nasional. Strategi ini berfokus pada penguatan ekosistem industri yang erat, di mana keterkaitan antara backward dan forward linkage diperkuat, sehingga nilai tambah dalam prosesnya bisa diperbesar.
“Industrialisasi sejati adalah orkestrasi, bukan solois. Kami di Kemenperin akan memperkuat ekosistem industri kita. Kolaborasi antara sektor global dan nasional membuat kolaborasi yang mesti terus dikembangkan,” tutup Adie, menekankan perlunya sinergi antar pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. (Z-10)


















































