
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menegaskan, penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak bisa dilakukan serampangan. Hal ini berkaitan dengan pemindahan dana Rp200 triliun dari rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) ke Himbara.
Kebijakan ini diatur lewat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 tentang Penempatan Uang Negara dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi.
Menurut Rizal, prinsip utama pengelolaan keuangan negara adalah setiap pengeluaran harus mendapat persetujuan DPR melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan (APBN-P). Dengan kata lain, meskipun SAL merupakan sisa anggaran, statusnya tetap melekat sebagai dana publik (public fund) yang tunduk pada asas legalitas.
"Penggunaan SAL tidak boleh dilakukan sembarangan, karena prinsipnya setiap pengeluaran negara harus mendapat persetujuan DPR melalui mekanisme APBN atau APBN-P," jelas Rizal kepada Media Indonesia, Jumat (12/9).
Ia menerangkan secara hukum, SAL diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara serta UU APBN setiap tahun. Fungsinya adalah sebagai bantalan fiskal (fiscal buffer) yang dapat digunakan untuk menutup defisit, menambah pembiayaan, atau kebutuhan mendesak seperti penanganan krisis.
"Karena itu, penggunaannya harus sesuai dengan dasar hukum yang berlaku," kata Rizal.
Lebih lanjut, Rizal menjelaskan KMK hanya dapat mengatur aspek teknis pelaksanaan, misalnya penempatan SAL di bank-bank Himbara untuk menjaga likuiditas atau mendukung program pemerintah. Namun dari sisi prinsip tata kelola, dasar kebijakan tetap harus mengacu pada mandat yang lebih tinggi, yakni UU APBN.
Dengan demikian, keberadaan KMK dinilai tidak bisa menjadi dasar tunggal dalam penggunaan dana Rp200 triliun tersebut, apalagi jika pemanfaatannya bukan sekadar penempatan likuiditas jangka pendek, tetapi sudah mengarah pada policy lending atau pembiayaan program tertentu.
"Setahu saya, KMK hanya boleh sebagai instrumen pelaksana teknis, bukan dasar hukum utama. Untuk dana Rp200 triliun, sebaiknya tetap diikat oleh UU APBN dan pengawasan DPR agar legitimasi dan akuntabilitasnya terjaga," tegasnya.
Menurutnya, jika penempatan Rp200 triliun SAL hanya berbasis KMK tanpa dikaitkan ke APBN, maka berpotensi timbul persoalan akuntabilitas. Karena secara substantif ini adalah off-budget financing atau pendanaan pemerintah yang tidak dicatat atau tidak termasuk langsung dalam anggaran negara (APBN/APBD). Serta, melibatkan dana rakyat dalam jumlah besar.
"Diperlukan mitigasi risiko moral hazard jika dana ditempatkan di bank lalu dialirkan ke program tanpa pengawasan ketat penggunaan anggaran oleh DPR," tegasnya. (E-4)