Ilustrasi(Antara)
Pemerhati transportasi perkeretaapian Edi Nursalam mengungkapkan pemerintah harus memisahkan antara biaya prasarana dan sarana Kereta Cepat Whoosh. Menurutnya, untuk proyek transportasi publik seperti kereta cepat, biaya prasarana seperti rel, terowongan, jembatan, stasiun, lahan semestinya menjadi tanggungan pemerintah dan dibiayai melalui APBN.
Sementara itu, konsorsium atau operator kereta cepat cukup bertanggung jawab atas biaya sarana dan operasional yang dapat ditutup dari pendapatan tarif dan non-tarif seperti iklan dan kerja sama komersial lainnya.
"Skema seperti ini sudah lazim di berbagai negara maju, dan bisa diterapkan untuk pembangunan lanjutan ke Surabaya agar beban utang konsorsium menjadi lebih ringan dan terukur," katanya dalam keterangan yang diterima, Rabu (5/11).
Menurut Edi, agar proyek KCIC berkelanjutan secara finansial, pemerintah perlu mendorong tingkat keterisian (load factor) minimal 70%. Caranya adalah dengan kebijakan push and pull, yakni menekan penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik, khususnya kereta cepat.
"Eropa sudah menerapkan aturan bahwa penerbangan jarak pendek (di bawah 2 jam) diarahkan untuk menggunakan kereta cepat. Prinsip serupa bisa diterapkan di Indonesia, terutama untuk rute antar kota di Pulau Jawa," ungkapnya.
Jika dilihat dari aspek efisiensi dan aksesibilitas, lanjut Edi, kereta cepat jauh lebih unggul dibanding pesawat. Ia lebih aman, lebih efisien waktu, dan lebih mudah dijangkau karena stasiun bisa dibangun di tengah kota. Oleh karena itu, menurutnya, kereta cepat Jakarta-Surabaya sangat mungkin untuk dilanjutkan. (E-3)


















































