Seminar Industri Nasional: Industri Manufaktur Indonesia Terkini: Menavigasi Tantangan dan Peluang Berdasarkan Indeks PMI(KSPSI)
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Moh Jumhur Hidayat menawarkan resep untuk membangkitkan kembali industri nasional yang kini menghadapi masa sulit, yaitu dengan menghidupkan kembali industri substitusi barang impor.
“Barang yang bisa kita produksi sendiri seharusnya tidak perlu lagi diisi produk luar negeri. Kalaupun terpaksa masuk, harus dikenakan cukai tinggi,” tegas Jumhur saat menjadi pembicara dalam Seminar Industri Nasional: Industri Manufaktur Indonesia Terkini: Menavigasi Tantangan dan Peluang Berdasarkan Indeks PMI, di Hotel Travelo, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (3/10).
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto dikenal memiliki perhatian besar terhadap pembangunan industri. Karena itu, ia mendorong seluruh pihak untuk memastikan komitmen tersebut benar-benar diwujudkan menjadi kebijakan nyata. Bahkan, ia menantang Menaker Yassierli yang hadir dalam acara tersebut untuk berani menjadi pembisik di kabinet agar pemerintah benar-benar melindungi industri dalam negeri.
Jumhur menilai langkah substitusi impor bukan hanya mampu mencegah PHK, tetapi juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru. Namun jika impor tetap diperlukan, ia menekankan pentingnya cukai tinggi untuk melindungi produsen nasional.
Selain proteksi, ia menyoroti pentingnya daya beli domestik sebagai motor pertumbuhan industri. “Industri bisa memproduksi motor, baju, atau sepatu, tapi kalau masyarakat tidak mampu membeli, industri tidak akan tumbuh,” ujarnya.
Ia pun mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat—seperti program makan bergizi gratis, penguatan UMKM, koperasi, dan petani—karena semuanya bermuara pada peningkatan daya beli masyarakat.
Sebagai ilustrasi, Jumhur menyinggung kebijakan Jepang yang mengenakan cukai beras hingga 700% demi melindungi petani lokal dan menjaga daya beli mereka, sehingga tetap mampu menjadi konsumen bagi berbagai sektor industri domestik.
Ia kemudian merumuskan lima pilar circular domestic economy: produsen, konsumen, modal, tenaga kerja, dan bahan baku sebisa mungkin berasal dari dalam negeri. “Inilah yang dulu Bung Karno sebut sebagai Indonesia berdikari,” kata Jumhur.
Namun demikian, ia juga realistis. Jika modal dalam negeri kurang, investasi asing tetap bisa masuk; jika pasar jenuh, ekspor tetap perlu dilakukan. Hanya saja, ekspor harus berupa produk bernilai tambah, bukan bahan mentah. “Jangan hanya ekspor tambang mentah,” tegasnya.


















































