Kesibukan aktifitas bongkar muat kontainer di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)
KEPALA Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, potensi Indonesia untuk tetap membukukan surplus neraca perdagangan dalam beberapa bulan ke depan masih cukup besar, meskipun trennya mulai menyempit.
Pada Agustus 2025, menurut laporan BPS, Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$5,49 miliar atau sekitar Rp91,57 triliun (kurs Rp16.685). Surplus ini berasal dari ekspor yang mencapai US$24,96 miliar atau sekitar Rp416,34 triliun, sementara impor tercatat US$19,47 miliar atau sekitar Rp324,77 triliun.
Surplus perdagangan tersebut terutama ditopang oleh kinerja nonmigas yang masih kuat, sedangkan sektor migas tetap mengalami defisit.
Dari sisi ekspor, sumbangan terbesar datang dari industri pengolahan serta komoditas pertanian, khususnya minyak sawit. Sementara itu, impor nonmigas pada Agustus mengalami penurunan secara tahunan, meskipun secara kumulatif impor barang modal masih meningkat.
"Peluang Indonesia untuk tetap membukukan surplus dagang dalam beberapa bulan ke depan masih cukup besar," kata Josua, Rabu (1/10).
Ia menjelaskan surplus berpeluang berlanjut karena beberapa faktor. Pertama, tren harga komoditas energi cenderung melemah, sementara komoditas pertanian, terutama minyak sawit, masih relatif kuat. Hal tersebut dianggap membantu nilai ekspor tetap bertahan meski permintaan batu bara melemah.
Faktor kedua, defisit migas diperkirakan masih bertahan, tetapi pada Agustus impor nonmigas turun cukup dalam sehingga secara bulanan neraca nonmigas mencetak surplus besar. Ketiga, mitra dagang utama seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan India tetap menyerap produk berbasis pengolahan, sawit, dan besi-baja.
"Sehingga, penopang ekspor tidak semata bergantung pada energi," ucapnya.
Namun, ungkap Josua, ada beberapa tantangan yang perlu diwaspadai karena berpotensi memperkecil surplus ke depan. Yakni, lonjakan pengiriman ke beberapa pasar sebelum kebijakan tarif resiprokal AS diberlakukan telah mendorong ekspor lebih awal.
"Tanpa dorongan itu, laju ekspor cenderung kembali normal pada paruh kedua tahun sehingga kontribusinya ke neraca berkurang," kata Josua.
Ia melanjutkan, secara kumulatif Januari–Agustus 2025, impor barang modal tumbuh signifikan, menunjukkan fase investasi yang akan menarik lebih banyak mesin dan peralatan. Hal ini dianggap positif bagi kapasitas produksi, tetapi secara akuntansi mempersempit surplus ketika barang modal masuk lebih cepat dari realisasi ekspor tambahan.
Tantangan lainnya, menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, impor bahan baku dan konsumsi biasanya menguat. Jika perbaikan daya beli terjadi bersamaan, penurunan impor yang terlihat pada Agustus bisa berbalik naik. "Sehingga, surplus bulanan cenderung menyempit," tuturnya. (Ins/E-1)


















































