Ilustrasi judi online.(Dok. Freepik)
PERKEMBANGAN teknologi digital membuat praktik perjudian semakin mudah diakses, terutama melalui smartphone. Hal tersebut sangat meresahkan. Menurut Pakar Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, judi online (judol) memiliki daya rusak yang lebih tinggi karena menyasar kelompok masyarakat yang rentan secara finansial. Dampak nyata terlihat dari pola konsumsi keluarga.
"Banyak rumah tangga yang awalnya memiliki anggaran untuk kebutuhan sehari-hari, kini terpaksa mengorbankan sebagian besar pendapatan mereka demi memasang taruhan," kata dia, Kamis (18/9)
Bahkan, dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok justru habis untuk bermain judol. Kondisi ini menunjukkan adanya ancaman serius terhadap ketahanan ekonomi rumah tangga.
“Ketika dana bansos yang mestinya dipakai untuk makan, sekolah anak, atau kebutuhan kesehatan malah digunakan berjudi, itu bukan lagi persoalan individu," terang dia.
Hal ini sudah menjadi masalah ketahanan ekonomi keluarga, bahkan berpotensi menjadi masalah nasional jika jumlahnya masif.
Ia menambahkan, persoalan ini semakin kompleks dengan fenomena masyarakat yang mencari jalan pintas melalui pinjaman online (pinjol). Menurutnya, banyak pelaku judi online yang akhirnya terjerat utang pinjol karena tidak mampu menutupi kekalahan.
“Mereka kalah, lalu gali lubang tutup lubang dengan pinjol. Bunga pinjol yang mencekik membuat mereka makin sulit keluar dari lingkaran masalah. Akhirnya, keluarga ikut terdampak, bahkan ada yang rumah tangganya sampai hancur. Jadi efek dominonya sangat luas, bukan hanya soal uang,” terang dia.
Tidak rasional
Satria mengatakan, perilaku konsumsi masyarakat yang tidak rasional membuat mereka mudah terjebak pada judi online. "Maka wajar saja jika judi online dengan iming-iming cepat kaya terasa lebih menggoda. Pola pikir inilah yang membuat masyarakat rentan dan mudah dimanfaatkan pihak tertentu,” jelas dia.
Satria menyebut, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan represif berupa pemblokiran situs judi online untuk memberantas judi online. Menurutnya, meskipun langkah tersebut penting, tanpa peningkatan literasi dan kesadaran ekonomi, masyarakat akan tetap mencari jalan lain untuk berjudi.
Permintaan judol yang besar membuat supply akan selalu ada. Jadi, ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga budaya ekonomi yang belum sehat.
"Pemerintah harus berani masuk ke aspek edukasi masyarakat, bukan sekadar razia atau blokir situs,” tutup dia. (H-3)


















































