Foto Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 terpilih(Dok.MI)
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan yang meminta syarat pendidikan minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinaikkan dari lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi minimal Sarjana (S1). Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan menghormati putusan tersebut. Tetapi ia menilai MK kurang mempertimbangkan kepentingan publik dalam menjamin kualitas calon pemimpin bangsa.
“Seharusnya MK juga melihat aspek peningkatan kualitas orang-orang yang akan dijadikan calon presiden atau wakil presiden dengan menaikkan standar pendidikan. Itu substansinya,” tegas Iwan pada Kamis (2/10).
Secara pribadi, Iwan mendukung syarat minimal pendidikan capres-cawapres dinaikkan menjadi S1. Menurutnya, dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang melimpah, bukan hal sulit untuk mencari calon pemimpin dengan kualifikasi tersebut.
“Untuk melamar pekerjaan saja banyak yang mensyaratkan minimal S1. Presiden adalah top leader yang akan memimpin negara. Bayangkan jika tingkat pendidikan presiden lebih rendah dibanding sebagian rakyatnya, secara psikologis itu bisa menimbulkan persoalan,” ujarnya.
Iwan juga mencontohkan bahwa banyak negara maju dipimpin tokoh-tokoh lulusan universitas ternama. Hal itu, menurutnya, menunjukkan kapasitas dan visi kuat dalam membangun bangsa.
Sementara itu, MK dalam putusannya menilai peningkatan syarat pendidikan dapat membatasi hak konstitusional warga negara. Namun, Iwan berpandangan sebaliknya.
“Hak memilih memang sebaiknya diperluas, tetapi hak untuk dipilih harus mempertimbangkan kualifikasi. Hakim saja minimal S1, tidak ada hakim utama lulusan SMA. Maka seharusnya presiden, sebagai pemimpin tertinggi, memiliki kualifikasi pendidikan yang baik karena ia menjadi teladan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Iwan menyoroti alasan MK yang menyebut menaikkan syarat pendidikan merupakan ranah legislatif, bukan kewenangan MK.
“MK mengatakan hanya berwenang membatalkan pasal yang bertentangan dengan konstitusi. Jika ingin mengubah norma, itu wilayah DPR, bukan MK,” jelasnya.
Meski demikian, ia menilai substansi putusan MK bisa menimbulkan risiko bagi masa depan kepemimpinan Indonesia.
“Negara berisiko kehilangan kesempatan untuk memastikan calon pemimpin memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi dan sejalan dengan kebutuhan bangsa ke depan,” pungkasnya. (H-4)


















































