P2G Tegaskan MBG bukan Tanggung Jawab Guru

1 month ago 29
P2G Tegaskan MBG bukan Tanggung Jawab Guru Dapur MBG di Tangerang.(Dok. MI/Ramdani)

PERHIMPUNAN Pendidikan dan Guru (P2G) menolak guru dijadikan Penanggung Jawab Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah. Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri menyatakan bahwa Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2025 dari Badan Gizi Nasional (BGN) tentang "Pemberian Insentif Bagi Guru Penanggung Jawab Program Makan Bergizi Gratis di Sekolah Penerima Manfaat" adalah bentuk lepas tangan BGN terhadap kasus-kasus keracunan MBG yang akhir-akhir ini makin marak terjadi.

P2G mencatat sejak Mei 2025, pihaknya sudah memberikan saran agar MBG dimoratorium dan dievaluasi atau dihentikan sementara, mengingat kasus keracunan terus terjadi. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk mendeteksi apa saja yang perlu diperbaiki, dari sisi regulasi, keamanan dan kebersihan, kelayakan vendor, kendala teknis, dan risiko-risikonya.  Selain itu, pelibatan guru secara teknis dalam distribusi MBG di sekolah sangat mengganggu proses belajar mengajar.

“Bayangkan, pertama MBG datang, guru harus menalikan ulang agar bisa diangkut ke tiap kelas, kemudian guru-guru harus mencicipinya terlebih dahulu, mengawasi agar langsung dimakan murid, dan membereskannya kembali. Jika wadahnya hilang, sekolah justru harus mengganti,”  jelas Iman.

Menurut Iman, guru mencicipi MBG memiliki dua konsekuensi. Pertama, guru tidak memiliki kemampuan mendeteksi makanan beracun. Itu bukan tugas guru. Kalau deteksi itu dengan cara mencicipi, itu mempertaruhkan nyawanya. Kedua, membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja guru.

Menambah Beban Guru

Dia menegaskan, pekerjaan guru adalah mengajar, bukan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan kerja. Kebijakan alih tanggung jawab MBG ini juga hanya menambah beban kerja guru. Dalam pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebut Beban Kerja Guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan seperti menjadi wakil kepala sekolah, koordinator kokurikuler, dan kepala laboratorium. Mengelola MBG bukan beban kerja guru yang diatur Undang-Undang.

“Sebelum ada MBG, beban kerja guru justru sudah banyak," tegas Iman.

Menurutnya pengalihan tanggung jawab MBG kepada guru di sekolah bertentangan dengan UU Guru dan Dosen. Terutama dari segi kewajiban, tugas dan Tanggung Jawab. Menurutnya, tugas dan kewajiban guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran (pasal 7 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1). Bukan malah mengawasi MBG.

Begitupun tanggung jawab guru adalah melaksanakan tugas keprofesionalan sebagaimana disebut pasal 7 dan pasal 20.

“Dengan memberikan tugas tambahan yaitu sebagai penanggung jawab MBG, tentu ini akan keluar dari rel utama kewajiban guru," lanjutnya.

Tidak Sebanding dengan Beban

Iman juga mempertanyakan besaran insentif bagi guru sebesar Rp100 ribu per hari sebagai penanggung jawab MBG di sekolah. Menurut Iman, Rp100 ribu tidak sebanding dengan tanggung jawab keracunan siswa yang semestinya bisa dicegah. Iman khawatir ke depan guru yang akan disalahkan jika terjadi keracunan karena berstatus penanggung jawab. Selain itu, insentif Rp100 ribu per hari menjadi fakta paradoks bagi para guru honorer.

Saat ini Posko Pengaduan P2G menerima 518 guru honorer yang 97% belum menerima program bantuan insentif sebesar Rp300 ribu per bulan atau Rp10 ribu per hari yang dijanjikan Presiden RI, Prabowo Subianto. Menurut Iman sangat aneh jika Rp300 ribu per bulan sulit dicairkan untuk guru honorer tapi Rp100 ribu per hari bisa dilaksanakan secepat kilat.

“Jika BGN bisa memberikan insentif Rp100 ribu per hari untuk guru penanggung jawab MBG, bukankah mudah saja bagi pemerintah jika menggaji guru honorer sebulan Rp3 juta? Kenapa malah sulit menambah gizi gurunya?" ungkap Iman.

Desakan Moratorium

Iman berharap pemerintah melakukan moratorium, evaluasi, menghentikan sementara lalu memperbaiki tata kelola MBG sehingga tepat sasaran dengan prinsip selektif. Kemudian mencabut peraturan yang menjadikan MBG sebagai tugas, kewajiban dan tanggung jawab guru.

Iman menambahkan bahwa program MBG kurang tepat jika sasarannya adalah seluruh murid di Indonesia. Padahal tidak semuanya membutuhkan, seperti sekolah swasta menengah atas.

“Kalau sekolah yang gizi muridnya sudah sangat baik, mereka diberikan MBG, jangan-jangan bukannya meningkat, gizinya malah menurun. Sebab mereka sudah makan bergizi sebelum program MBG ada, dengan harga jauh di atas porsi MGB," ungkap Iman.

Kepala Bidang Litbang P2G, Feriyansyah, menambahkan bahwa MBG seharusnya selektif kepada yang membutuhkan saja berbasis data tentunya. Misal, untuk sekolah daerah 3T atau daerah rawan kekurangan gizi. Merekalah yang paling membutuhkan program semacam MBG.

"MBG harus tepat sasaran, selektif ke sekolah yang latar belakang orang tuanya ekonomi lemah," lanjutnya.

Menurut Feriyansyah, MBG menghancurkan omzet kantin sekolah. Sebab penurunan omset ketika MBG dijalankan di sekolah. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |