
FASILITATOR Program Tanoto Foundation Hotma Wulansari Sitohang, guru kelas satu UPT. SDN 30 Pasar Lapan, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, menggunakan metode pembelajaran sederhana yang memanfaatkan media berupa benda-benda di lingkungan sekitar sangat beragam. Bahkan, benda seperti batu, botol bekas, atau ranting pohon, juga bisa dibuat menjadi alat peraga tiga dimensi.
Menurutnya, tak melulu mahal, bahan pembelajaran bisa didapat melalui pengalaman belajar langsung di lingkungan sekitar sekolah dan rumah. Karena itu, ia memanfaatkan media alat olahraga, yakni kun mangkuk (cone). Cone biasa digunakan guru olahraga sebagai alat penanda dalam aktivitas di lapangan terbuka, berbagai warna cerah seperti merah, biru, kuning, hijau dan oren, yang sangat menarik perhatian anak-anak terutama murid kelas awal, yang aktivitasnya mayoritas bermain.
“Pemanfaatan media pembelajaran olahraga dapat menjadi sarana yang menarik dalam mengenalkan konsep warna dan berhitung pada murid kelas satu SD,” kata perempuan yang akrab disapa Wulan, dalam keterangannya, Senin, (22/9).
Melalui media pembelajaran sederhana, kata wulan, pengajar dapat membuat kegiatan belajar akan terasa lebih menyenangkan karena dikemas dalam permainan fisik.
“Jadi tidak hanya melatih ranah kognitif siswa saja. Aspek motorik, kemandirian, dan konsentrasi anak juga terlatih,” ungkap Wulan.
Contextual Teaching Learning
Menurutnya melalui media pembelajaran seperti cone, guru dapat menampilkan materi dengan model pembelajaran Contextual Teaching Learning. Metode ini membuat siswa dapat memegang dan melihat langsung suatu benda yang berwarna dan menghitung jumlah benda secara konkret (visual).
Biasanya Wulan mengawali pembelajaran dengan memberikan ice breaking agar anak-anak lebih semangat. Kemudian ia memberikan penjelasan terkait Bahasa Inggris dari warna-warna tersebut. Selanjutnya murid-murid diminta menuju halaman sekolah dan membentuk lingkaran. Setiap murid dibagikan satu cone warna secara acak sambil menyebutkan warnanya.
“Ini green ya artinya hijau,” ucap Wulan menjelaskan, sembari membagikan cone, beberapa murid terlihat meminta cone yang berwarna sesuai dengan keinginannya.
”Bu…saya maunya warna merah enggak mau yang kuning,” ungkap Alka,
Wulan dengan lembut menjawab ”Kalau mau yang ini coba sebutkan pakai bahasa inggris nanti ibu berikan," jawab Wulan.
Wulan melanjutkan dengan memberikan arahan cara bermainnya “Kalau ibu sebutkan warna red maka yang pegang warna merah bergegas memasangkan ke tiang ini ya nak dan begitu seterusnya jadi anak-anak harus konsentrasi dengan warna yang dipegang” jelas Wulan.
Untuk mengasah kemampuan berhitung, murid-murid diminta menghitung jumlah cone berdasarkan warna seperti kelompok merah, kuning, hijau, biru dan oranye. Masing-masing warna berjumlah 10.
“Kalau yang warna biru ditambah warna merah berapa jumlah semuanya?” tanya Wulan. “Sepuluh tambah sepuluh jadi dua puluh bu,” ucap beberapa anak secara bersamaan. “Kalau misalnya yang warna kuning hilang empa jadi berapa?" tanyanya. "Sepuluh dikurang empat jadinya enam bu sisanya” jawab murid bernama Silva.
Pada kegiatan akhir masing-masing murid memasukkan cone pada tiangnya sambil berhitung. Mulai dari angka satu hingga 35 sesuai dengan jumlah murid yang ada dan urutan berikutnya sampai dengan 50 dihitung bersama-sama. Sebagai refleksi, guru menanyakan perasaan serta pembelajaran hari ini.
Wulan menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan dalam konsep pembelajaran mendalam, menjadikan dirinya sebagai guru yang berperan menjadi aktivator, artinya guru harus mampu memberikan pemantik yang dapat membangkitkan semangat, rasa ingin tahu, dan partisipasi aktif murid dalam proses belajar.
Menurut nya guru itu harus memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset) agar dapat melihat dan menjadikan peluang sekecil apapun yang ada di lingkungan sekitar bisa menjadi media pembelajaran bagi siswa. (H-3)