Neraca Perdagangan Surplus 64 Bulan Berturut-turut sejak Mei 2020

1 month ago 29
Neraca Perdagangan Surplus 64 Bulan Berturut-turut sejak Mei 2020 Ilustrasi(Antara)

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2025 kembali mencatat surplus sebesar US$5,49 miliar atau setara sekitar Rp91,56 triliun (kurs Rp16.685). Dengan capaian tersebut, Indonesia berhasil membukukan surplus perdagangan selama 64 bulan berturut-turut. Surplus ini diperoleh dari nilai ekspor yang mencapai US$24,96 miliar atau Rp416,49 triliun, atau naik 5,78% dibanding Agustus 2024. Sementara nilai impor tercatat US$19,47 miliar atau Rp324,93 triliun pada Agustus 2025, turun 6,56% dibanding periode yang sama tahun lalu.

"Neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 64 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," ujar Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah dalam konferensi pers Rilis BPS secara daring, Rabu (1/10).

Ia menjelaskan surplus perdagangan lebih banyak ditopang oleh komoditas nonmigas dengan nilai US$7,15 miliar (Rp119,29 triliun). Penyumbang utama adalah lemak dan minyak nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja. Di sisi lain, neraca migas masih mengalami defisit US$1,66 miliar Rp27,70 triliun) yang dipicu oleh minyak mentah dan hasil minyak.

"Untuk periode Januari-Agustus 2025, neraca perdagangan kumulatif tercatat surplus US$29,14 miliar (Rp486,26 triliun)," jelas Habibullah.

Surplus tersebut, lanjutnya, didukung oleh komoditas nonmigas senilai US$41,21 miliar (Rp687,40 triliun), sedangkan migas masih defisit US$12,07 miliar (Rp201,45 triliun).

Dari sisi negara mitra dagang, tiga penyumbang surplus terbesar adalah Amerika Serikat US$12,20 miliar (Rp203,55 triliun), India US$9,43 miliar (Rp157,41 triliun), dan Filipina US$5,85 miliar (Rp97,61 triliun). Sementara itu, defisit terdalam tercatat dengan Tiongkok US$13,09 miliar (sekitar Rp218,32 triliun), Singapura US$3,55 miliar (Rp59,24 triliun), dan Australia US$3,49 miliar (sekitar Rp58,21 triliun).

Pada perdagangan nonmigas, komoditas penyumbang surplus terbesar Januari-Agustus 2025 adalah lemak dan minyak nabati sebesar US$22,83 miliar atau Rp381,07 triliun, bahan bakar mineral dengan US$17,80 miliar atau Rp297,79 triliu), serta besi dan baja dengan US$12,18 miliar atau Rp203,17 triliun.

Sementara itu, defisit nonmigas terbesar berasal dari mesin dan peralatan mekanis US$17,90 miliar atau Rp298,66 triliun, mesin dan perlengkapan elektrik US$7,53 miliar atau Rp125,67 triliun,, serta kendaraan dan bagiannya (HS-87) terutama dari Tiongkok.

Dihubungi terpisah, ekonom Bank Danamon Hosiana Situmorang menuturkan, surplus perdagangan ke-64 berturut-turut sebesar US$5,49 miliar pada Agustus 2025, naik dari bulan sebelumnya yakni US$4,17 miliar pada Juli 2025 dan jauh lebih tinggi dibandingkan US$2,90 miliar pada tahun sebelumnya. 

Ia menerangkan ekspor naik 5,78% secara tahunan (yoy) didorong oleh lonjakan dari sektor manufaktur yang terdiri dari minyak sawit atau CPO, perhiasan, nikel, bahan kimia berbasis pertanian, dan elektronik) seiring pesanan musiman yang meningkatkan pengiriman. 

"Namun, keuntungan tersebut terimbangi oleh ekspor batu bara yang melemah 21% secara year to date (ytd), sehingga menekan ekspor pertambangan menjadi minus 15,50% yoy," bilangnya. 

Dari sisi impor, total nilai tercatat turun 6,56% yoy menjadi US$19,47 miliar. Impor minyak dan gas masih tumbuh 3,17% yoy, sementara kontraksi terutama disebabkan oleh impor bahan baku yang turun 9,06% yoy. Sebaliknya, impor barang modal justru meningkat 2,45% yoy, didorong oleh masuknya peralatan listrik, kapal, dan pesawat terbang.

Ke depan, impor pesawat diperkirakan akan terus meningkat seiring rencana pemerintah untuk membeli pesawat Boeing, serta jet tempur Rafale dan Chengdu.

Hosiana menambahkan, sepanjang Januari–Agustus 2025 Amerika Serikat tetap menjadi kontributor surplus terbesar dengan nilai US$12,20 miliar. Meski demikian, impor mesin dari Indonesia ke AS tercatat meningkat menjadi US$1,30 miliar, sementara impor kendaraan melonjak 22,89% yoy Di sisi lain, Tiongkok mempertahankan posisinya dengan surplus perdagangan sebesar US$3,10 miliar.

Perdagangan dengan mitra ASEAN (tidak termasuk Filipina dan Singapura) juga menunjukkan kinerja positif, dengan surplus yang lebih besar mencapai US$5,37 miliar, melanjutkan tren kenaikan sebelumnya. 

Ke depan, surplus perdagangan Indonesia diperkirakan terus berlanjut dari pertumbuhan ekspor CPO dan baja yang kuat, ditambah katalis positif potensial dari larangan terbaru Tiongkok terhadap pengiriman bijih besi BHP. 

"Namun, izin ekspor konsentrat tembaga Freeport tidak diperpanjang setelah 16 September, yang berpotensi menurunkan ekspor tembaga," pungkasnya. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |