
PEMERINTAH Nepal mencabut larangan terhadap sekitar dua lusin platform media sosial setelah kebijakan tersebut memicu demonstrasi besar yang dipimpin anak muda di berbagai kota, termasuk ibu kota Kathmandu. Kerusuhan pada Senin (9/9) itu menewaskan sedikitnya 19 orang, menjadikannya aksi protes paling berdarah dalam beberapa dekade terakhir.
Menteri Komunikasi Prithvi Subba Gurung mengumumkan pencabutan larangan usai rapat kabinet, menyusul tekanan publik yang semakin meluas. Larangan terhadap Facebook, WhatsApp, YouTube, dan sejumlah platform lain diberlakukan pekan lalu dengan alasan menekan berita palsu serta ujaran kebencian. Namun, langkah itu dikritik keras kelompok HAM yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk sensor.
Unjuk rasa ini dipelopori Generasi Z (usia 13-28 tahun) yang marah atas praktik korupsi, minimnya lapangan kerja, serta kebijakan yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi.
Korban Tewas
Menurut pejabat rumah sakit, 17 orang tewas di Kathmandu dan dua lainnya di kota Itahari. Kantor HAM PBB menyatakan terkejut atas banyaknya korban jiwa dan mendesak dilakukan penyelidikan transparan. Amnesty International juga mengecam penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa yang tidak menimbulkan ancaman langsung, menyebutnya sebagai pelanggaran serius hukum internasional.
Rekaman video memperlihatkan aparat menggunakan meriam air, gas air mata, hingga peluru tajam untuk membubarkan massa di sekitar gedung parlemen Kathmandu.
Perdana Menteri KP Sharma Oli menyatakan dirinya “sangat berduka” atas insiden tersebut, namun menuding adanya “kelompok berkepentingan” yang menyusup dan memperkeruh situasi. Ia menambahkan bahwa pemerintahnya tidak menutup mata terhadap tuntutan yang disuarakan generasi muda.
Korupsi memang menjadi masalah kronis di Nepal, dan pemerintahan Oli selama ini menuai kritik karena dianggap gagal memberantas praktik tersebut. (CNN/Z-2)