
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Fauzan Khalid meminta masyarakat jangan terbuai dengan politik uang. Ia menekankan pentingnya pendidikan politik agar masyarakat semakin tercerahkan dan terhindar dari praktik politik transaksional.
“Praktik klientelisme, yaitu praktik patronase politik yang melibatkan petukaran dukungan dengan imbalan materi ini harus dicegah. Ini sudah sangat meresahkan dan membahayakan. Karena itu, penyadaran masyarakat terus digalakkan melalui pendidikan politik,” kata Fauzan melalui keterangannya, hari ini.
Menurut Fauzan, melalui pendidikan politik masyarakat akan terus diingatkan tentang bahaya politik uang (money politics). Praktik pembelian suara masyarakat seringkali terjadi agar mendapatkan dukungan dalam pemilu.
“Masyarakat jangan sekali-kali mengabaikan politik, dan harus memiliki wawasan dan pengetahuan cukup, terutama dalam proses rekrutmen kepemimpinan. Salah satu strategi yang dilakukan untuk meningkatkan wawasan dalam upaya meningkatan kesadaran politik adalah melalui sosialisasi pendidikan politik kepada masyarakat,” katanya.
Fauzan mengatakan di satu sisi sanksi hukum terhadap pelaku politik uang selama ini juga sulit ditindak karena terbentur batas waktu terkait dengan tindak pidana pemilu.
“Kalau tidak ada batas waktu terkait pidana pemilu, tidak akan selesai pemilu itu, karena ada proses banding, dan lain-lainnya.” katanya.
Ia mengajak masyarakat menolak politik uang karena lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat.
“Pilih sesuai hati Nurani bapak ibu. Lihat rekam jejak calon yang akan dipilih. Lihat juga kemampuannya. Jangan terbuai dengan berbagai informasi di berbagai saluran media, termasuk media sosial untuk tujuan sekadar pencitraan, tetapi harus betul-betul dicek dulu, supaya tidak salah pilih," katanya.
Fauzan meminta agar masyarakat tetap peduli terhadap politik, karena semua produk perundang-undangan, bahkan anggaran untuk pembangunan merupakan keputusan politik. “Makanya kita harus peduli dan tidak abai dengan politik,” tukasnya.
Sebelumnya, Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar Baharuddin menyoroti tingginya politik uang pada Pemilu di Indonesia. Ia mengatakan berdasarkan laporan dan penelitian dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi, sekitar 70%-80% warga permisif dengan politik uang.
Ia mengatakan mayoritas pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena diiming-imingi uang, bukan kesadaran untuk berpartisipasi memberikan suaranya pada Pemilu.
"Jadi melihat politik uang yang tadi angka 50an sekarang lebih dari 70%, bahkan ada yang memberi angka 80%. Jadi politik uang itu sesuatu luar biasa, artinya orang datang ke TPS itu bukan karena kesedaran politik tetapi datang ke TPS karena politik uang. Itu yang pertanyaannya yang dikejar," kata Bahtiar di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10).
Bahtiar mengungkapkan tingginya politik uang tak lepas dari kondisi masyarakat yang terjerembab dalam kemiskinan. Ia mengatakan hal tersebut membuat masyarakat mudah menerima uang saat Pemilu. Ia mengatakan berdasarkan data World Bank, 194,7 juta dari 285 juta penduduk Indonesia berada di garis kemiskinan. Selain itu, ia juga menyoroti tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang lebih dari setengah lulusan SMP.
"Jadi Anda bisa berharap apa kepada warga yang 194,7 juta menurut World Bank bukan data BPS ya, yang masih miskin. Yang selanjutnya kita berharap partisipasi yang berkualitas seperti apa dengan kondisi masyarakat hanya 6,8% atau 7% itu yang lulusan perguruan tinggi, lebih dari 65% masih lulusan SMP bahkan ada yang putus sekolah itu kurang lebih 24%," kata Bahtiar.(P-1)