
Laporan investigatif The New York Times yang menyinggung dugaan keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) Amerika Serikat dalam deforestasi hutan tropis Kalimantan menuai kritik dari pengamat kehutanan, Petrus Gunarso. Ia menilai pemberitaan tersebut terlalu bombastis dan tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi nyata industri kehutanan Indonesia.
Menurut Petrus, istilah deforestasi kerap digunakan secara longgar oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. Bahkan, alih fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI) pun sering digolongkan sebagai deforestasi.
“Kalau hutan alam diganti jadi eukaliptus atau akasia, apakah masih disebut deforestasi? Padahal di Indonesia bisa dipanen dalam enam tahun, sementara di Norwegia atau AS butuh puluhan tahun,” jelasnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian, Senin (8/9).
Petrus menyoroti laporan Earthsight dan Auriga Nusantara yang mengaitkan kayu lauan dari Kalimantan dengan deforestasi. Menurutnya, kayu itu kemungkinan besar berasal dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), yakni hasil tebangan sah saat pembukaan lahan untuk HTI. “Itu legal. Tapi digambarkan seolah hutan alam habis ditebang untuk ekspor ke AS, padahal kenyataannya berbeda,” tegasnya.
Ia menambahkan, sektor kehutanan Indonesia saat ini justru sedang melemah. Dari 550 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di era 1990-an, kini tinggal sekitar 200, dengan produksi kayu hutan alam merosot ke 1,6 juta meter kubik per tahun, jumlah yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan kayu di Jakarta saja.
“Kalau tujuannya melemahkan industri kayu, mungkin berhasil. Padahal tanpa isu itu pun industri kita sudah sulit berkembang karena izin berlapis, konflik lahan, dan profit yang rendah,” ujarnya.
Petrus juga mengkritik klaim LSM soal keanekaragaman hayati Indonesia. Menurutnya, meskipun Indonesia disebut mega-biodiversity, pada praktiknya pasar hanya menyerap jenis tertentu seperti jati dan meranti. “Jadi kalau bicara konsistensi, itu tidak tercermin di pasar,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar IPB University Sudarsono Sudomo menilai regulasi di sektor kehutanan sering kali membebani pelaku usaha. Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menurutnya tidak memberi manfaat langsung bagi petani. “Rata-rata petani bahkan tidak tahu di mana sertifikat SVLK mereka,” ujarnya.
Prof. Sudarsono menegaskan bahwa pengusahaan hutan alam tidak otomatis identik dengan deforestasi.
“Hutan alam bisa pulih secara biologis asal tidak diganggu. Masalahnya, secara finansial investasi di sektor ini berat, sehingga banyak pengusaha tidak tertarik,” jelasnya.
Ia menambahkan, sejak 1990 industri kehutanan terus menyusut, baik dari sisi jumlah perusahaan maupun luas areal. Tanpa investasi baru, menurutnya, sektor ini akan semakin meredup.