Logo PPP .(Ist)
MUKTAMAR X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang akan digelar akhir pekan ini dinilai menjadi titik krusial bagi masa depan partai berlambang Ka'bah. Hal itu disebut akan menentukan apakah PPP menuju kebangkitan atau justru semakin mendekati kepunahan.
Dosen Departemen Politik Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Wahid Abdulrahman mengatakan belum ada satu pun partai politik di Indonesia yang berhasil kembali ke parlemen setelah gagal lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Wahid menjelaskan penurunan suara PPP dalam tiga pemilu terakhir membuat kekhawatiran itu semakin logis. Menurutnya, penurunan tersebut disebabkan oleh persoalan internal.
“Dalam teori pelembagaan partai politik, faktor utama adalah kegagalan mengelola konflik. Mulai dari dualisme kepengurusan hingga kristalisasi persaingan antar faksi menjelang Pemilu 2024,” jelas Wahid dalam keterangannya, Sabtu (27/9).
Pada Pemilu 2014 PPP meraih 8,15 juta suara atau 6,53%, lalu turun menjadi 6,32 juta suara (4,52%) di Pemilu 2019, dan kembali menurun menjadi 5,87 juta suara (3,87%) di Pemilu 2024.
Alumni Program Doktoral Southeast Asian Studies Goethe University Jerman itu menambahkan, kelemahan PPP semakin diperparah dengan kegagalan menjaga basis pemilih tradisional serta ketidakmampuan membaca arah politik nasional.
“Faktor tersebut diperparah dengan kegagalan PPP dalam menjaga basis pemilih tradisional, sementara pada saat yang sama kurang cakap merespons perubahan demografi pemilih serta ketidakcermatan membaca arah politik nasional,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sejak Pemilu 1977 hingga 1997, PPP merupakan rumah besar umat Islam yang memiliki basis pemilih tradisional-ideologis di kantong-kantong santri.
“Wajar jika kemudian PPP telah memiliki basis pemilih tradisional-ideologis khususnya di wilayah kantong-kantong santri. Basis inilah yang semestinya terus dijaga,” ujarnya.
Akan tetapi, Wahid menilai PPP kini dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan karakter pemilih, terutama generasi milenial dan zillenial yang akan mendominasi ke depan.
Tantangan lain adalah konsolidasi organisasi di tengah demokrasi liberal yang membutuhkan pendanaan besar serta persaingan politik yang makin ketat. Dalam konteks Muktamar, Wahid menekankan pentingnya komposisi kepemimpinan yang tepat.
“Komposisi antara Ketua Umum dan Sekjen akan sangat menentukan nasib PPP. Menentukan paket politik yang dapat menjawab kebutuhan dan tantangan PPP ke depan,” katanya.
Ia menilai figur santri harus masuk dalam jajaran kepemimpinan PPP. “Ekosistem utama dalam PPP adalah pesantren dan santri, sehingga figur santri penting untuk mengisi posisi Ketua Umum atau Sekjen,” ucapnya.
Menurutnya, figur tersebut sebaiknya memiliki daya tarik elektoral, mampu menggerakkan jaringan santri, sekaligus berperan sebagai konsolidator partai. “Akan lebih baik jika figur santri itu punya pengalaman tidak hanya di internal PPP, tapi juga di lembaga legislatif atau eksekutif.”
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya figur berlatar belakang pengusaha untuk lima tahun ke depan lantaran kebutuhan finansial partai akan jauh lebih besar dibanding Pemilu 2024. “Maka kesiapan dan komitmen finansial menjadi sangat vital,” jelasnya.
Kendati demikian, Wahid menekankan bahwa komposisi kepemimpinan yang menggabungkan figur santri dan pengusaha bisa menjadi kunci kebangkitan PPP. “Komposisi pengusaha-santri inilah yang bisa menjadi alternatif penentu masa depan PPP lima tahun ke depan,” pungkasnya. (Dev/P-2)


















































