Moratorium Kenaikan CHT 3 Tahun Bisa Jaga Daya Beli Masyarakat

2 hours ago 3
Moratorium Kenaikan CHT 3 Tahun Bisa Jaga Daya Beli Masyarakat Ilustrasi(Antara)

Kebijakan fiskal 2026 yang tidak akan mengenakan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak disambut positif oleh pelaku industri dan pengamat ekonomi. Namun, mereka menekankan pentingnya kebijakan lanjutan berupa moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan yang bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, melindungi tenaga kerja, dan memulihkan industri hasil tembakau (IHT) yang tengah tertekan.

Sejalan dengan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan pajak di tahun 2026, para pelaku industri menilai bahwa optimalisasi penerimaan negara sebaiknya difokuskan pada peningkatan kepatuhan pajak dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal, bukan melalui kenaikan tarif cukai. Pendekatan ini dinilai lebih efektif dalam menjaga stabilitas industri sekaligus mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menilai pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai sinyal positif bagi IHT, khususnya terkait tarif cukai.

“Pernyataan Kemenkeu terkait tidak akan ada pajak baru atau kenaikan pajak pada tahun 2026 bisa diartikan positif dalam arti pajak tidak berubah, termasuk cukai (rokok) harapannya tidak naik pula,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (15/9).

Benny menegaskan bahwa kepastian kebijakan sangat dibutuhkan oleh IHT yang dalam lima tahun terakhir menghadapi tekanan berat akibat kenaikan tarif cukai lebih dari 65%. Ia pun mendorong pemerintah untuk menerapkan moratorium kenaikan cukai rokok selama tiga tahun ke depan.

“Moratorium kenaikan cukai (rokok) selama tiga tahun ke depan akan sangat berarti bagi pemulihan sektor hasil tembakau,” jelasnya.

Menurut Benny, jika industri diberi ruang untuk pulih, dampaknya akan terasa luas. “Apabila sektor hasil tembakau ini pulih, maka dapat memberikan dampak pada penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, termasuk peningkatan kesejahteraan petani,” ujarnya.

Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, turut menyoroti kondisi ekonomi yang masih rentan. Ia menilai melemahnya daya beli masyarakat, turunnya konsumsi rumah tangga, dan penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) sebagai indikator bahwa kenaikan cukai rokok sebaiknya ditunda.

“Kalau tetap dinaikkan cukainya, konsumen akan shifting ke produk yang lebih murah. Dari sisi produsen akan terjadi penurunan omzet, padahal overhead cost tidak mungkin turun, sehingga profit menurun tapi biaya tetap. Yang akan dilakukan perusahaan adalah efisiensi. Jadi, saya takut kalau cukai rokok dinaikkan nanti PHK yang akan terjadi,” ungkapnya.

Esther menambahkan bahwa moratorium CHT selama tiga tahun bisa menjadi kebijakan strategis untuk mendorong pemulihan ekonomi. Menurutnya di kondisi perekonomian saat ini, menaikkan cukai saat industri sedang lesu adalah langkah yang keliru.

“Kalau industri sudah lesu, ya, terus [cukai naik], ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Jadi gimana mereka mau bergerak?” serunya.

Menutup pandangannya, Esther berharap Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mampu membaca kondisi ekonomi secara riil dan objektif, serta menyampaikan realitas tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Saya berharap Bapak Purbaya jangan melupakan untuk memahami kondisi ekonomi yang sebenarnya, dan dia berani menjelaskan kepada Presiden Prabowo bahwa kondisi ekonomi ini seperti ini. Seperti apa adanya,” pungkasnya. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |