MK Sarankan Rotasi Pimpinan AKD untuk Penuhi 30% Perempuan

1 week ago 18
MK Sarankan Rotasi Pimpinan AKD untuk Penuhi 30% Perempuan Ketua Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi para hakim anggota antara lain Daniel Yusmic P. Foekh (krii), Saldi Isra (kedua kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan) dan M Guntur Hamzah memimpin pembacaan putusan uji materiil undang-undang di(MI/Susanto)

Untuk memastikan keterwakilan 30% perempuan dalam struktur AKD, Mahkamah Konstitusi menilai Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerapkan langkah konkret melalui mekanisme internal.

“Pertama, DPR dapat membuat aturan tegas dalam tata tertib agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan di setiap AKD sesuai kapasitasnya. Minimal 30 persen dari anggota fraksi yang duduk di AKD harus perempuan,” jelas Wakil Ketua MK Saldi Isra di Jakarta, kemarin.

Selain itu, menurutnya, fraksi juga dapat menerapkan kebijakan rotasi dan distribusi anggota perempuan agar tidak terkonsentrasi pada bidang-bidang sosial saja. 

“Fraksi memiliki peran strategis karena penempatan anggota di AKD sepenuhnya merupakan kewenangan mereka. Prinsip pemerataan dan keseimbangan gender harus diinternalisasi dalam kebijakan fraksi,” tambahnya.

Mahkamah juga menegaskan Badan Musyawarah (Bamus) DPR memiliki peran penting dalam melakukan evaluasi berkala terhadap komposisi gender di AKD. “Bamus harus dapat memberi rekomendasi jika ditemukan ketimpangan keterwakilan perempuan antarfraksi atau antarbidang,” imbuh Saldi.

Dalam pertimbangan Mahkamah, Saldi menjelaskan bahwa ketiadaan ketentuan kuota minimal 30 persen perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD dinilai bertentangan dengan konstitusi.

“Jika pemilihan pimpinan AKD dilakukan tanpa memperhatikan keterwakilan perempuan, maka peluang perempuan untuk menjadi pimpinan akan semakin kecil karena mekanisme musyawarah mufakat justru bisa menghasilkan dominasi laki-laki,” paparnya.

Menurut Mahkamah, adanya pengaturan kuota perempuan justru memberikan kepastian hukum yang adil. “Dengan penetapan formula 30 persen, ukuran keadilan menjadi jelas dan dapat diukur implementasinya. Karena itu, dalil para pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 427E ayat (1) huruf b UU Nomor 2 Tahun 2018 adalah beralasan menurut hukum,” tegasnya.

Menurut Saldi, keberadaan perempuan dalam lembaga legislatif bukan hanya soal keterwakilan simbolik, tetapi menyangkut esensi politik hukum nasional yang menjunjung kesetaraan.

“Kehadiran perempuan pada setiap alat kelengkapan dewan (AKD) bukan sekadar angka, melainkan wujud dari politik of presence dan politics of ideas bahwa perempuan membawa perspektif khas yang memperkaya kebijakan publik,” ujarnya.

Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesetaraan gender dalam setiap tingkat pengambilan keputusan. 

“Untuk memastikan perempuan dapat berpartisipasi penuh dan memiliki kesempatan yang sama dalam kepemimpinan di semua level pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan publik. Kehadiran perempuan secara proporsional dalam AKD merupakan bagian dari politik hukum nasional kita,” pungkasnya.

Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 diajukan Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.

Para Pemohon mengungkapkan hak konstitusional mereka dirugikan, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemohon menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) yang tidak mencapai 30 persen pada periode 2024-2029. (P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |