ilustrasi.(MI)
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang diajukan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto.
Dalam sidang tersebut muncul situasi tidak biasa ketika anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru sepakat dengan permohonan Hasto agar Pasal 21 UU Tipikor dinyatakan inkonstitusional.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengaku heran dengan sikap DPR yang berbeda dari praktik umum selama ini.
“Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” ucap Saldi dalam sidang perkara nomor 136/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10).
Biasanya, baik Presiden maupun DPR dalam sidang pengujian undang-undang cenderung mempertahankan pendirian bahwa pasal-pasal yang diuji bersifat konstitusional. Namun, kali ini DPR justru sejalan dengan permohonan Hasto.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, menyampaikan bahwa Pasal 21 UU Tipikor memang bermasalah.
“Menurut kami, Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Wayan secara daring.
Ia bahkan menegaskan bahwa ancaman pidana maksimal 12 tahun dalam pasal tersebut seharusnya diturunkan menjadi 3 tahun, sebagaimana yang dimohonkan Hasto.
“Ancaman 12 tahun penjara lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap. Karena itu, kami menilai permohonan pemohon patut dipertimbangkan MK,” tambahnya.
Menyikapi hal ini, Saldi Isra menilai lebih tepat jika DPR melakukan revisi langsung ketimbang menyerahkan keputusan ke MK.
“Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi. Biar komprehensif sekalian,” tegasnya.
Dalam keterangan yang dibacakan, DPR menekankan bahwa Pasal 21 hanya bisa diterapkan jika perbuatan perintangan dilakukan secara sengaja dan melawan hukum.
Hal itu lanjut Wayan, bisa dilakukan dengan kekerasan, ancaman, intimidasi, intervensi, atau janji keuntungan tidak semestinya. DPR juga meminta MK menafsirkan kata sambung “dan” dalam frasa “penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan” bersifat kumulatif.
“Artinya, tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan hanya bisa dianggap terjadi bila dilakukan dalam seluruh tahap, mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan di pengadilan,” jelas Wayan.
Dalam permohonannya, Hasto Kristiyanto meminta agar Pasal 21 UU Tipikor ditambahkan frasa baru. Selain itu, Hasto dalam permohonannya meminta agar ancaman maksimal perintangan penyidikan kasus korupsi dikurangi dari 12 tahun jadi 3 tahun harus dikabulkan MK.
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional. Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir.
Pasal tersebut sebelumnya pernah digunakan untuk menjerat dirinya sebagai terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan perkara suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dan buronan Harun Masiku.
Selain itu, Hasto juga sempat dijerat pasal penyuapan karena diduga menyiapkan uang Rp400 juta untuk Harun Masiku terkait kasus suap Wahyu. (Dev/P-3)


















































